Orang Tua Resah, Diduga Ada Pungli Pendaftaran Lewat Belakang di SMPN 1 Klari
Karawang, RBO – Suasana penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2025/2026 di SMP Negeri 1 Klari, Kabupaten Karawang, diwarnai dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang mencoreng dunia pendidikan.
Sejumlah orang tua murid mengaku diminta uang sebesar Rp3.000.000 yang asalnya 4.000.000 agar anak mereka bisa masuk melalui jalur tidak resmi alias “jalur belakang”.
Informasi tersebut pertama kali beredar dari pengakuan salah satu orang tua calon siswa, yang menyampaikan bahwa ia diarahkan oleh oknum yang mengaku memiliki “jalur aman” agar anaknya bisa masuk meski nilai dan zonasi tidak memenuhi syarat.
“Kami diminta setor uang Rp3 juta ke rekening pribadi seseorang yang katanya orang dalam sekolah. Katanya ini biaya ‘pengurus’,” ujar salah satu wali murid yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Transaksi tersebut, menurut para orang tua, tidak memiliki kwitansi resmi dan tidak pernah tercantum dalam daftar biaya resmi yang dikeluarkan oleh sekolah atau Dinas Pendidikan.
Sikap ini makin menambah kecurigaan publik bahwa dugaan pungli ini bisa melibatkan oknum internal sekolah. Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan Kabupaten Karawang.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah bebas biaya, kecuali ada mekanisme resmi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pungutan tanpa dasar hukum atau tidak melalui komite sekolah termasuk tindakan ilegal.
Selain itu, berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pungutan liar bisa dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap, yang bisa dikenai hukuman pidana.
Pasal 12e UU Tipikor:
“Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.”
Masyarakat dan aktivis pendidikan mendesak pihak berwenang, terutama Inspektorat Daerah, Dinas Pendidikan, dan Kejaksaan Negeri Karawang, untuk segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap dugaan pungli ini.
Jika terbukti, ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga tindak pidana korupsi yang merusak integritas pendidikan dasar.
“Pendidikan dasar seharusnya inklusif dan adil. Kalau masuk sekolah negeri harus bayar lewat belakang, maka pendidikan sudah menjadi komoditas,” ujar seorang pengamat pendidikan. (Iyus)