Jakarta, RBO – Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membeberkan sejumlah lokasi pelabuhan tikus yakni pintu gerbang barang ilegal masuk Indonesia.
Menurut Direktur Jenderal Bea Cukai Askolani, ada sejumlah lokasi pelabuhan tikus di Indonesia. salah satunya terletak di Pulau Sumatera.
“500 itu deteksi kita di Pesisir Timur Sumatera,” ujar Askolani di Tempat Penimbunan Pabean (TPP) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Cikarang Bekasi, Kamis (16/10/2023).
Dalam dua minggu terakhir Ditjen Bea dan Cukai sudah menindak setidaknya 1.600 bal barang impor ilegal di kawasan Pesisir Timur Pulau Sumatera.
“Dalam periode dua minggu ini kami menangkap 1600 bal leboh di Pesisir Timur Sumatera,” jelasnya.
Bea Cukai pun memperkirakan lebih dari 1.000 pelabuhan tikus tersebar di Indonesi. Selain lewat laut, menurut Askolani, penyelundupan barang ilegal juga lewat darat yaitu daerah perbatasan.
Bahkan, kebun pun dijadikan jalur perlintasan barang impor ilegal.
“Ada yang lewat kebun, ada yang lewat tempat biasa. Jadi cara mereka memasukkan barang itu menjadi tantangan sehingga terkadang kita dibantu oleh patrol perbatasan TNI,” terang Askolani.
“MODUS PARA PENYELUNDUP “
Selain itu, Askolani menjelaskan ada sejunlah modus yang digunakan penyelundup untuk memasukkan barang impor illegal ke Indonesia.
“Modusnya selain pelabuhan tikus, pelabuhan besar juga bisa terjadi. (Mereka memainkan) Dokumen under invoicing (menyatakan harga kurang dari harga sebenarnya) dan under declare,” ucapnya.
Askolani menjelaskan pihaknya saat ini sedang mengintensifkan pengawasan di pelabuhan besar dan pelabuhan tikus. Berdasarkan catatan pihaknya ia menjelaskan mayoritas barang impor ilegal saat ini berasal dari Malaysia.
“Utamanya pelabuhan2 tikus dan pengangkutan kapal yang menjadi pengawasan yang kita intenskan beberapa minggu ini. Dan masuknya dominan dari Malaysia,” beber Askolani.
Askolani menambahkan, jumlah personel bea cukai yang dibutuhkan untuk menangkal penyelundupan tidak cukup. Oleh sebab itu kolaborasi lintas lembaga diperlukan. Terutama Bareksrim Polri, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan, serta Pemerintah Daerah.
“Pelabuhan tikus ini memang susah mengawasinya, dan aparat kita tidak mungkin sanggup dan tak akan cukup. Sehingga kita harus berkolaborasi. Pernah ada masyarakat yang menolak karena alasan ekonomi, mereka minta dengan berbagai alasan. Ini yang terjadi di lapangan, tapi kita lakukan yang bisa kita. Kita push terus,” bebernya. (YUs)