Abd.Mukti
Pemerhati Kehidupan Beragama.
Setiap malam Ramadhan, umat muslim disunnahkan untuk melaksanakan shalat tarawih.
Dinamai shalat tarawih, karena tarawih itu sendiri berarti istirahat, karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at.
Kata Nabi saw :” barang siapa melakukan shalat malam ini dengan iman dan mengharap pahala dari Allah (ikhlas), maka diampunilah dosanya yang telah lalu”(HR.Al-Bukhari dan Muslim).
Veruntunglah umat yang melakukan shalat tarawih ini, dan amat rugilah umat yang tidak melakukan shalat sunnah khusus di bulan Ramadhan ini.
Dosa apa yang diampuni Allah itu ? Ulama beda pendapat. Ada yang mengatakan dosa kecil saja. Juga ada yang berpendapat dosa besar dan kecil. Wallahu a’lam
Kita-kita ini kan punya dosa. ‘Al-insanu mahallil khatha’ wannisyan’. Manusia itu tempatnya salah dan lupa. Tapi ingat, Allah itu Maha Pengampun. Tentu kepada hambaNya yang mau beramal ibadah dan bertobat.
Lah….inilah kesempatan emas di bulan Ramadhan, bulan penuh berkah dan penuh ampunan. Di bulan inilah, Allah obral pahala dan ampunan untuk hamba-Nya yang taat.
Sahabat Muslim….
Sudah tau belum, sejak kapan shalat tarawih ini dilakukan ?
Shalat tarawih ini dilaksanakan sejak Nabi saw masih hidup, namun secara berjamaah di masjid hanya beberapa malam saja sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab shahih Al-Bukhari berikut :
Sayyidah ‘Aisyah r.a meriwayatkan
bahwa Nabi ditengah malam pergi ke masjid nabawi untuk melaksanakan shalat malam yang diikuti oleh para shahabat. Paginya mereka saling memberikan informasi bahwa tadi malam kami shalat malam bersama nabi.
Malam kedua, ketiga bertambah banyak para shahabat yang mengikuti shalat malam berjamaah beserta nabi.
Dan malam keempatnya, penuh sesaklah masjid nabawi itu dengan jamaah. Para shahabat menunggu kehadiran nabi sampai waktu shubuh nabi baru muncul di masjid untuk melaksanakan shalat shubuh berjamaah.
Tentu para shahabat bertanya-tanya mengapa nabi lambat datang ke masjid ? Karenanya usai shalat shubuh nabi menghadap jamaah dan berpidato :
فاءنه لم يخؤ علي مكانكم ولكني ان تفترض عليكم فتعجزوا عنها. رواه البخاري.
“Sungguh saya tidak khawatir atas penuhnya tempat kamu (masjid), tetapi yang saya khawatirkan akan difardhukan shalat tarawih atas diri kamu. Maka kamu akan lemah untuk melaksanakannya”.
Kondisi demikian shalat tarawih akhirnya tidak dilaksanakan sampai Rasulullah wafat hingga pereode Khalifah Abu Bakar dan awal pereode khalifah Umar bin Khathab.
Dan akhirnya, khalifah Umar bin Khathab melihat para shahabat shalat malam sendiri-sendiri, dan ada kelompok kecil shalat berjamaah di masjid.
Maka beliau punya pemikiran “bahwa seandainya saya kumpulkan mereka itu dan shalat tarawih secara jamaah atas imam tunggal, alias tidak terpencar-pencar adalah lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri alias ‘munfarid'”.
Maka Khalifah Umarpun menunjuk Ubay bin Ka’ab, sahabat yang hafidz Al-quran untuk menjadi imam shalat. Dan malam-malam selanjutnya shalat tarawih dilaksanakan secara berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab.
Dalam hadits tersebut shalat malam atau shalat tarawih tidak disebutkan jumlah rakaatnya. Namun dalam sumber yang lain disebutkan bahwa untuk menghidup-hidupkan malam ramadhan maka shalat tarawih dilaksanakan dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat.
Dan hingga kini sebagian besar umat Islam melaksanakan tarawih dan witir 23 rakaat.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i menerangkan dalam kitab An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 3, halaman 527:
مَذْهَبُنَا أَنَّهَا عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ غَيْرِ الْوِتْرِ
“Madzhab kami ( madzhab Asy-Syafii) bahwa shalat tarawih itu dua puluh rakaat dengan sepuluh salaman selain witir”.
Shalat tarawih dengan jumlah 20 rakaat ini kemudian menjadi tradisi yang berlanjut hingga sekarang di banyak masjid-masjid di seluruh dunia. Namun, ada juga sebagian umat Islam yang tetap mengikuti sunnah Nabi SAW dengan mengerjakan 8 rakaat saja, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً … [رواه البخاري ومسلم] .
Artinya: Dari Abi Salamah Ibnu Abdir-Rahman (dilaporkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat sunnat (tathawwu‘) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat … [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Kedua pendapat ini sama-sama memiliki dalil dan argumentasi yang kuat dari sumber-sumber syar’i.
Yang terpenting adalah kita tidak saling mencela atau merendahkan pendapat yang berbeda dari kita. Kita harus menghormati perbedaan dalam masalah-masalah furu’iyyah (cabang) seperti ini. Kita harus bersatu dalam hal-hal ushul (pokok) seperti tauhid, risalah, dan akhirat. Kita harus menjaga ukhuwah Islamiyah dan saling mendoakan kebaikan.
Tetap Wajib Thuma’ ninah !
Ada hal yang perlu mendapat perhatian bagi umat Islam yang melaksanakan shalat tarawih dan witir adalah jangan sampai dalam melaksanakan shalat terburu-buru, alias tidak thuma’ninah. Apapun shalatnya baik shalat fardhu maupun sunnah, salah satu rukunnya adalah thuma’ninah, diam sebentar antara dua gerakan
Dalam hadits , Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا أَوْ قَالَ لاَ يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ
“Manusia paling buruk pencuriannya adalah orang yang mencuri dari shalat”. Mereka (para sahabat) berkata, “Bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau bersabda, “Dia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya”, atau beliau bersabda, “Dia tidak meluruskan punggungnya ketika ruku’ dan sujud”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/310). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 885)]
Begitu wajibnya thuma’ inah dalam shalat, sampai nabi mengatakan ‘sejahat-jahatnya pencuri’ bagi orang yang shalat tidak thuma’ninah.
Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang sedang shalat dengan gerakan yang cepat, tanpa menyempurnakan posisi sujud dan ruku’-nya, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Kalau dia mati dalam kondisi shalat model begini, maka dia mati bukan di atas (petunjuk) agama Muhammad SAW-HR. Ibnu Abi Syaibah, At-Thabrany, dll. Shahih al-Targhib no. 528)
Jangan sampai kita sudah shalat dari kecil sampai dewasa bahkan sampai lansia tidak diterima Allah swt lantaran tidak thuma’ninah dalam shalat.
Wallahu a’lam bishawab.
Kuala Tungkal, 8 Ramadhan 1445 H