Penggunaan Dana Desa Tahun 2023 di Desa Sukarame Diduga ‘Asal-asalan’
BANDUNG, RBO – Berbagai permasalahan pengelolaan dana di Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung baru-baru ini menjadi bahan perbincangan hangat bagi masyarakat sekitar.
Adanya dugaan penyimpangan pada pengelolaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) menyeruak melalui kurangnya transparansi pihak desa dalam penggunaan dana.
Kegiatan Fasilitas Pengelolaan Sampah Desa dengan menggunakan anggaran sebesar Rp 70.860.000,00 diduga merupakan salah satu kegiatan desa yang sarat dengan penyimpangan. Selain minimnya keterbukaan, pengadaan 4 unit alat pembakar sampah tersebut disinyalir telah diwarnai mark-up gila-gilaan.
Sumber yang berhasil dihubungi menyampaikan estimasi harga alat pembakaran sampah sebagaimana telah dilaksanakan oleh Desa Sukarame. Untuk harga pembelian Alat Pembakar Sampah lengkap dengan Kompor Pembakar ternyata hanya dikisaran Rp 3 juta per unit.
Sementara Kepala Desa Sukarame, Iis Kurniasih, S.Pd menjelaskan tentang penyedia Alat Pembakar Sampah yang telah dilaksanakan dengan menggunakan Dana Desa Tahun 2023 tersebut.
Menurutnya, alat pembakar sampah tersebut dipesan melalui rekanan yang sering datang ke desa untuk menawarkan barang, yang sudah menjadi langganan.
“Itu di pesan melalui rekanan yang suka datang ke desa untuk menawarkan barang,” katanya sembari tidak menjelaskan harga per unit alat yang telah dilaksanakan.
Iis Kurniasih, saat dihubungi melalui sambungan telepon menjelaskan bahwa pengadaan alat pembakar sampah pada tahun 2023 hanya dilaksanakan pada tahap pertama.
“Data yang tertera pada Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM-SPAN) seringkali tidak akurat dengan data sebenarnya. Seakan-akan alokasi dana untuk satu kegiatan itu dua tahap, padahal hanya satu tahap,” ungkapnya.
Selain pengadaan Alat Pembakar Sampah yang dinilai bermasalah, pengalokasian Dana Desa tahun 2023 terhadap Bantuan Pengobatan (Percepatan Penghapusan Kemiskinan Melalui BPJS Ketenagakerjaan bagi Masyarakat Pekerja Rentan) juga dinilai keblinger, tanpa dasar hukum yang jelas dan bahkan hanya untuk membuat senang atasan.
Pengalokasian Dana Desa untuk Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) sebesar Rp 10.080.000,00 dinilai tidak memiliki dasar hukum dan bahkan bertentangan dengan beberapa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Berbagai kalangan masyarakat menilai, bahwa Surat Edaran (SE) dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Bandung Nomor: 400.9.11. / 001 / 866 / BID_ADM.PEMDES Tentang BPJS Ketenagakerjaan Bagi Masyarakat Rentan, hanya sebagai bentuk pencitraan pemerintah untuk merebut simpati masyarakat dalam menghadapi Pilkada tahun 2024.
Surat Edaran yang tidak memiliki korelasi dengan regulasi tentang penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem dijadikan sebagai dasar pengalokasian dana desa untuk Program JKK dan JKM.
Inpres No 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem menginstruksikan kepada para Bupati/Walikota untuk menyusun program dan kegiatan pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota serta mengalokasikan anggaran pada APBD Kabupaten/Kota (bukan Dana Desa) dalam rangka percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Demikian halnya dengan Inpres No 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Pada Diktum Kedua Presiden menginstruksikan agar para Bupati/Walikota menyusun dan menetapkan regulasi serta mengalokasikan anggaran untuk mendukung pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di wilayahnya.
Demikian halnya dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023, Lampiran BAB II C No 8a yang dijadikan sebagai dasar penerbitan Surat Edaran, tidak mengarahkan desa untuk mengalokasikan Dana Desa untuk Program BPJS.
Penanggulangan kemiskinan terutama kemiskinan ekstrem melalui penurunan beban pengeluaran antara lain pemberian bantuan sosial dan jaminan sosial bagi masyarakat miskin, usia lanjut, dan difabel sebagaimana dijelaskan dalam Permendes PDTT Nomor 8 Tahun 2022 adalah dalam bentuk pengalokasian Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) paling sedikit 10 % dan paling banyak 25 % dari anggaran Dana Desa.
Ketua Umum Perkumpulan Radar Pembangunan Indonesia (RPI), Abd Hasyim mengungkapkan bahwa pengalokasian Dana Desa terhadap Program BPJS adalah merupakan langkah yang tidak tepat dan tidak member manfaat apa-apa bagi masyarakat.
“Untuk memperoleh manfaat dari Program JKK dan JKM, peserta harus membayar Iuran BPJS tiap bulan, karna bila iuran tersebut tidak dibayar secara kontinu, akan menyebabkan manfaat kepesertaan anggota BPJS akan dihentikan. Dengan demikian, iuran yang telah dibayarkan selama 6 (enam) bulan tidak akan memberikan manfaat apa-apa,” jelas Hasyim.
Menurutnya, penggunaan dana yang hanya berlandaskan kebijakan seharusnya dilakukan dengan tidak bertentangan dengan hukum. Karena mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan hukum adalah merupakan penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian Negara dan/atau menambah beban yang harus ditanggung oleh keuangan Negara.
Pada intinya, Kepala Desa tidak memiliki diskresi menggunakan dana desa untuk hal-hal yang tidak diatur dalam regulasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat tentang Pengelolaan Dana Desa.
“Karena pengeluaran dana diluar Juknis patut diduga sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian Negara, sehingga hal ini dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum yang dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” pungkas Hasyim.
Ketua Umum LSM Pandemo, Nana Setiawan meminta agar Kepala Desa Sukarame, Iis Kurniasih menjelaskan tentang siapa-siapa peserta BPJS yang telah didaftarkan dengan menggunakan Dana Desa tahun 2023.
“Untuk menghindari adanya penilaian skeptis dari masyarakat, kepala desa harus bias menjelaskan 100 peserta yang telah didaftarkan, kalau hal ini tidak dijelaskan, kuat dugaan bahwa peserta tersebut FIKTIF,” beber Nana. (Herman)