Jam 2 Siang Kantor Desa Anggasari Sepi, Warga Keluhkan Tidak Ada Pelayanan
Subang, RBO – Pelayanan publik yang semestinya menjadi hak dasar warga negara kembali menjadi sorotan. Pada hari Jum’at, 18 Juli 2025, pukul 14.00 WIB, kantor Desa Anggarasari, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Subang, terlihat sepi tanpa aktivitas pelayanan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen perangkat desa terhadap kewajibannya sebagai pelayan masyarakat. Padahal, sesuai aturan, jam kerja kantor desa mengacu pada ketentuan jam kerja ASN, yakni hingga pukul 16.00 WIB pada hari kerja.
Sejumlah warga yang ditemui di halaman kantor desa mengeluhkan kejadian tersebut. Salah satunya,warga yang enggan di sebut namanya mengatakan bahwa dirinya datang untuk mengurus surat keterangan usaha namun tidak bisa dilayani.
“Saya sampai di sini jam dua kurang. Pas masuk, ternyata kosong. Cuma ada satu kursi penjaga kosong juga. Kata tetangga sebelah, memang sering kosong jam segini,” ujarnya.
Perilaku abai terhadap pelayanan publik di kantor desa ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif bahkan potensial menjadi pelanggaran hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan berkewajiban menyediakan layanan sesuai standar, waktu, dan prosedur yang telah ditetapkan.
Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa penyelenggara wajib menetapkan dan menerapkan standar pelayanan.
Selain itu, Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa menegaskan bahwa perangkat desa yang tidak menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara optimal dapat dikenakan sanksi, mulai dari teguran lisan hingga pemberhentian.
Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah selama jam kerja juga dapat dikategorikan sebagai indisipliner, yang dalam konteks ASN dan perangkat desa memiliki konsekuensi serius, termasuk pemotongan tunjangan, evaluasi kinerja, atau bahkan pemberhentian.
Kepala Desa Anggarasari hingga berita ini diturunkan belum memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi melalui sambungan telepon dan pesan singkat tidak mendapat respons.
Kondisi ini tidak bisa terus membiarkan pelayanan publik dikorbankan oleh oknum perangkat desa yang tidak disiplin. Ini bukan hanya soal etika kerja, tapi menyangkut hak konstitusional warga.
Diharapkan agar pihak kecamatan segera melakukan evaluasi mendalam dan memberikan sanksi tegas apabila ditemukan pelanggaran disiplin.
Kasus sepinya kantor Desa Anggarasari pada jam kerja ini mencerminkan ironi di tengah gencarnya kampanye peningkatan kualitas pelayanan publik di Indonesia.
Saat pemerintah pusat terus mendorong reformasi birokrasi hingga ke tingkat desa, praktik seperti ini justru menunjukkan adanya ketimpangan antara kebijakan dan implementasi.
Warga desa, sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, berhak mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, dan transparan. Pelayanan publik bukanlah pemberian, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi. (Iyus)