Alergi Wartawan? Kepala BPN Depok Jadi Sorotan
DEPOK, RBO – Sikap tertutup Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, Budi Jaya, menuai sorotan setelah menolak permintaan konfirmasi langsung dari wartawan terkait sejumlah isu publik yang tengah mencuat dan jadi sorotan.
Upaya konfirmasi dilakukan melalui pesan WhatsApp pada 20/10/ 2025, dengan maksud menjadwalkan pertemuan dan diskusi langsung mengenai sejumlah persoalan penting yang berkaitan dengan pelayanan publik di BPN Kota Depok.
Namun sangat di sayangkan sikap yang dtunjukan Budi Jaya justru menyampaikan bahwa urusan komunikasi dengan media telah didelegasikan kepada Kasubag Tata Usaha dan Koordinator Kehumasan.
Ia menegaskan bahwa seluruh informasi terkait kegiatan dan kebijakan BPN Depok sudah disampaikan melalui akun Instagram dan media internal resmi.
“Kami menugaskan Kasubag TU dan Koordinator Kehumasan untuk berkomunikasi dengan rekan media. Informasi selalu kami update melalui IG dan media internal kami,” tulis Budi Jaya dalam pesan singkatnya.
Menanggapi hal tersebut, wartawan menegaskan bahwa permintaan konfirmasi dimaksudkan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan sebagai bagian dari fungsi kontrol media terhadap kebijakan publik.
“Pertemuan internal BPN dengan organisasi wartawan seperti PWI atau PWOI tidak bisa menggugurkan kewajiban pejabat publik untuk memberikan keterangan langsung terkait isu publik. Wartawan berperan sebagai jembatan informasi masyarakat, bukan pihak yang harus menunggu izin atau perantara,” tegasnya.
Sayangnya, hingga berita ini diterbitkan, tidak ada tanggapan lanjutan dari Budi Jaya, meski pesan klarifikasi telah dikirimkan secara sopan dan berulang.
Menanggapi hal tersebut, praktisi hukum Andi Faisal, SH., MH. menilai bahwa sikap Kepala BPN Kota Depok bisa dikategorikan sebagai bentuk penghalangan akses informasi publik, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
“Pejabat publik memiliki kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat, terutama yang menyangkut kepentingan umum. Menolak bertemu atau memberi keterangan tanpa alasan yang sah bisa dikategorikan sebagai pengabaian hak publik atas informasi,” ujarnya.
Menurutnya, Pasal 52 UU KIP menegaskan bahwa ‘Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi hak seseorang untuk memperoleh informasi publik dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 juta.’
Andi menambahkan bahwa alasan birokrasi atau penunjukan PIC tidak bisa dijadikan pembenaran apabila substansi informasi yang diminta berkaitan dengan transparansi kinerja lembaga negara.
“Kalau informasi yang diminta terkait kebijakan publik atau kinerja lembaga, pejabat utamanya tetap bertanggung jawab. Delegasi komunikasi tidak boleh dijadikan tameng untuk menghindari transparansi,” tegasnya.
Keterbukaan informasi publik merupakan bagian penting dari prinsip good governance, dan lembaga sekelas BPN seharusnya menjadi teladan dalam hal akuntabilitas dan pelayanan publik.
Sikap tertutup seperti ini justru menimbulkan kesan bahwa lembaga negara masih alergi terhadap pengawasan publik.
Dalam konteks ini, publik berhak mendapatkan penjelasan langsung atas berbagai kebijakan dan permasalahan yang terjadi di lapangan. Sebab, komunikasi yang sehat antara pejabat publik dan media merupakan fondasi utama transparansi dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat. (Tono)