Pejabat Pro Rakyat Versi Syariat Islam

0 0
Read Time:6 Minute, 3 Second

By: Abd.Mukti

Pemerhati Kehidupan Beragama.

“Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti”, demikian ucapan Umar ibn Khaththab, seorang Khalifah pro rakyat yang populer itu.

Khalifah Umar r.a. sangat khawatir atas pertanggung jawaban amanah kekuasaan di Hari kiyamat nanti dihadapan Allah SWT.
Sebenarnya macam apa pejabat Pro rakyat versi Syariat Islam itu ?

Sebagai Waliy

Dalam kajian fiqih terdapat kaidah yang menyatakan ‘At-Tasharruf Alar-Ra’iyyah Manutun bil-Maslahah’ (kebijakan atas rakyat harus terkait langsung dengan kemaslahatan mereka). Qa’idah ini berasal dari statemen Imam Asy-Syafi’i, ‘Manzilatul Imam Minar-Ra’iyyah Manzilatul Waliy Minal-Yatim’ (Kedudukan seorang pejabat bagi rakyatnya layaknya seorang wali bagi anak yatim).

Qaidah diatas bila definisinya dijabarkan difahami bahwa kebijakan seorang pemimpin (pejabat) wajib dibangun, diikat, dan diorientasikan demi kemaslahatan umum, yaitu semua lapisan masyarakat yang dipimpinnya harus tersejahterahkan. Jika tidak berhasil, dia dianggap gagal mengeksekusi kewajiban syariat.

Islam tidak pernah main-main dalam urusan jabatan. Bayangkan, pemangku jabatan dianalogikan sebagai seorang wali yang menyantuni anak yatim. Sebuah analogi yang sederhana namun mulia. Anak-anak itu harus terjamin pangan, sandang , papan dan pendidikannya. Selama anak-anak itu belum baligh atau belum mampu mandiri, kewajiban belum lepas dari tangan si Waliy. Si Waliy haram membelanjakan sepeserpun uang anak yatim kecuali bila ia pinjam dengan niat mengembalikannya atau untuk kepentingan anak itu sendiri.

Sebagai Pengemban Amanah

Pejabat pro rakyat tergambar dalam firman Allah SWT,

Surat Al-Anfal Ayat 27

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (Q.S.al-Anfal : 27).

Dalam menafsirkan ayat diatas, seorang mufassir yang juga pakar Tata Negara pada masa khilafah Abasiyah, Al-Imam Al-Mawardi menjelaskan, “Mengkhianati Allah dan Rasul-Nya bisa dalam bentuk hak-hak masyarakat yang tidak ditunaikan yang ada pada harta (zakat, sedekah, dan infaq). Adapun mengkhianati amanah beliau tafsirkan dengan amanah Allah yang dibebankan kepada pemimpin berupa eksekusi tugas dan penegakan sepremasi hukum dengan tepat sekaligus larangan mengabaikan. Amanah disini, kata beliau, bisa meliputi setiap jenis amanah yang wajib ditunaikan dan haram dikhianati.

Karena jabatan merupakan amanah, wajarlah jika Khalifah Umar ibn Khathab begitu takut mempertanggung jawabkan amanah kekuasaan itu pada Hari Perhisaban kelak. “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti”, demikian ucapan Umar yang populer itu.

Integritas pejabat dalam Islam dinilai dari kecakapannya mengemban amanah. Mengemban amanah sendiri merupakan karakter orang beriman. Sebaliknya, berkhianat adalah ciri-ciri orang munafik. Rasulullah Muhammad SAW bersabda : “Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga : bila berkata dia berbohong, bila berjanji dia ingkar, dan bila diberi amanah dia berkhianat”.(Muttafaq ‘Alaih). Pada kesempatan yang berbeda Rasul SAW juga menegaskan :”Tidak beriman orang yang tidak amanah, tidak beragama orang yang tidak menepati janji” (HR.Ahmad).

Sebagai Penggembala

Dalam hadits yang shaheh disebutkan :
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ،

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka” (HR.Al-Bukhari &Muslim).

Nabi SAW menyebut setiap manusia layaknya penggembala. Kelak laporan pertanggung jawabannya akan ditagih di Hari Akhir. Oleh karenanya pemimpin diistilahkan Ra’iy (penggembala) dan rakyat disebut Ra’iyyah(yang digembala).

Pemimpin dianalogikan sebagai Cah Angon (anak gembala) diharapkan sanggup ngemong semua pihak. Artinya pemimpin atau pejabat harus memiliki daya angon, meminjam istilah Budayawan Emha Ainun Najib. Karakternya mampu merangkul dan memesrai setiap lapisan rakyat yang dipimpinnya. Cah Angon merupakan sosok pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu kelompok.

Para pemegang kekuasaan ditasbihkan sebagai pelayan rakyat. Maka tugas mereka memberikan servis terbaik bagi rakyat. Visi misi mereka harus pro rakyat. Artinya tidak menipu dan mengecewakan mereka. Kebijakan-kebijakan pun harus arif dan bijak. Prinsip dasar adalah menegakkan keadilan dan melenyapkan kedzaliman. Apapun keputusan mufakat yang diambil harus sejalan dengan kemaslahatan rakyat.

Sebagai seorang pejabat pro rakyat, sudah seharusnyalah setiap membuat dan menetapkan undang-undang dan peraturan harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat umum.

Tak ayal jika KH Syukron Makmun dalam tausiyahnya menyatakan, “bahwa walau negeri ini bukan negara Islam, tapi penduduknya mayoritas muslim. Untuk itu,kata beliau, pemerintah dalam membuat undang-undang gak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena UU itu yg akan pakai rakyat,sementara rakyatnya mayoritas muslim”, demikian tausiyah ulama senior yang populer dengan sebutan ‘singa podium itu.

Sastrawan Rendra dahulu pernah menkritik istilah ’pejabat pemerintah’ dan ‘aparat pemerintah’. Dua istilah ini menurutnya sangat pas dengan orientasi kerja mereka. Tidak heran mereka selalu mengecewakan rakyat. Sebab, sebagai pejabat dan aparat mereka bekerja secara total demi kepentingan pemerintah. Sedang kepentingan rakyat nomor terakhir. Seharusnya bila ingin merubah orientasi, ubahlah istilah itu menjadi ’pejabat rakyat’ dan ’aparat rakyat’.

Kini semua harus kembali meluruskan niat, atas motif apakah jabatan tersebut. Seorang pengemban amanah berupa pangkat dan jabatan, apapun tingkatannya, mulai yang terkecil sampai yang terbesar, dituntut untuk menjalankannya dengan maksimal. Pejabat versi syariat tak lebih dari seorang wali anak yatim dan tukang ‘angon’ saja. Jabatan yang dalam benak sebagian kita tidak punya pristise.

Tetapi setiap amanah berupa materi dan non materi di mata Allah SWT adalah tanggung jawab besar dan kelak akan dipertanyakan pada Hari Kiamat. Sekali lagi para pejabat perlu mawas diri dengan ancaman Nabi SAW :”

عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ma’qil Bin Yasâr Radhiyallahu anhu berkata, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya. [Muttafaq alaih]

Dalam hadits yg lain disebutkan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ

“Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad)

Karena baik buruknya kondisi Bangsa dan Rakyat, tergantung pada baik-buruknya pemimpinnya.

Semoga para pejabat yang sudah duduk mengemban amanah rakyat atau calon pejabat dapat menjadi pejabat yang pro rakyat. Aamiin.

Wallahu a’lam bishshawab

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *