JAKARTA, RB.Online – Forum Pers Indpendent Indonesia (FPII) melayangkan surat terbuka untuk Presiden RI Joko Widodo yang isian meminta selamatkan kemerdekaan Pers Indonesia. Bukan tanpa sebab, meski dalam surat tersebut menuju rancangan sembilan program prioritas pembangunan atau Nawacita digulirkan sejak pertama kali memimpin negeri berjalan cukup dinamis.
Baik itu keberhasilan pembangunan infrastruktur yang bisa dirasakan langsung masyarakat di berbagai pelosok negeri, bahkan hingga ke wilayah Papua sampai dengan kebijakan ekonomi yang dinilai berhasil merangsang pertumbuhan ekonomi nasional yangsemakin stabil sehingga menempatkan Jokowi menjadi Presiden 2 Periode.
Namun, sayangnya sederet prestasi yang diraih itu rasanya belum lengkap jika ada potensi yang menguasai ruang publik yang justru terabaikan, dalam artian adalah ruang lingkup Pers Indonesia, dimana kelihatannya luput dari perhatian orang nomor satu di Republik Indonesia ini.
Ketua Presidium Kas i hhati mengatakan, kriminalisasi pers yang semakin marak terjadi di era kepemimpinan Jokowi sejujurnya agak mengurangi kekaguman terhadap performa kepemimpinan presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Kas i hhati menyebut, baru-baru ini insan pers tanah air dikejutkan dengan peristiwa tewasnya Wartawan Media lintas todayMarasalim Harahapdi Kabupaten simalungun Sumatra utara dan juga pernah sebelumnya, wartawan Kemajuan Rakyat Muhammad Yusuf tewas saat berada dalam tahanan.
“Almarhum M.Yusuf dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara karena kerap memberitakan kepentingan warga yang terzhalimi. Polisi, Jaksa, dan Dewan Pers yang memeriksa dan menangani kasus ini sepakat bahwa tulisan almarhum M Yusuf yang dimuat di media,” jelasnya.
Menurut Kas i hhati, kemajuan Rakyat adalah perbuatan kriminal. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas-jelas tidak berlaku bagi almarhum M Yusuf. Mirisnya, kriminalisasi terhadap sebuah karya jurnalistik ternyata tidak hanya dialami almarhum M.Yusuf sendirian, melainkan juga dialami sejumlah wartawan di berbagai daerah.
“Dan itu semua terjadi di era pemerintahan sekarang. Baru-baru ini juga wartawan dipukuli di Majalengka dan kabupaten bogor. Sementara di Binjai sopian hampir dibunuh,tapi pembunuhan berencana itu dapat digagalkan polisi,” tegasnya.
Kas i hhati mencontohkan, di Gorontalo wartawan dibacok ditempat umum, di Enrekang Sulsel wartawan hanya mengkritik Bupati langsung ditangkap Polisi. Adalagi beberapa wartawan yang memberitakan pengrebekan kadis Kominfo, malah wartawan yang dilaporkan ke polisi dan Dewan Pers bukan memberi pembelaan malah memojokkan wartawan.
“Belum hilang dari ingatan di Nusa Tenggara Timur, Wartawan media online Fajar Timor Bony Lerek dijadikan tersangka karena menulis berita tentang dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Timor Tengah Utara, Raymundus Fernandez,” terangnya.
Di Riau, Pimred Harian Berantas Toroziduhu Laia juga diseret ke meja hijau PN Pekanbaru terkait kasus pelanggaran UU ITE yang dituduhkan Bupati Kabupaten Bengkalis dan Polda Riau akibat berita kasus korupsi dana Hibah/Bansos untuk Kabupaten Bengkalis. Padahal bupatinya sudah jadi tersangka.
“Dan yang paling mengejutkan lagi, barusan saja terjadi penyiraman air keras oleh OTK yang dialami oleh Pimpinan Redaksi media online jelajahperkara.com a.n Persada Bhayangkara Sembiring SH (25) pada tanggal 25 Juli 2021 pukul 21.40 Wib dan saat ini masih dirawat di RS. H. Adam Malik Medan. Dan masih banyak lagi wartawan di berbagai daerah dikriminalisasi akibat pemberitaan,” tutur Kas i hhati.
“Sangat disayangkan Dewan Pers yang berfungsi untuk melindungi kemerdekaan pers justru menjadi bagian terpenting dalam upaya mengkriminalisasi Pers Indonesia,” tambahnya.
Penerapan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan yang mewajibkan wartawan mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan atau UKW kian mengancam eksistensi Pers di Indonesia.
Pasalnya, wartawan yang belum atau tidak mengikuti UKW akan dianggap illegal oleh Dewan Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Terbukti dalam berbagai kasus aduan sengketa pers. Bahkan, Dewan Pers tidak segan-segan mengeluarkan rekomendasi dengan pertimbangan bahwa wartawan yang menjadi teradu belum mengikuti UKW, sehingga perkara yang diadukan dapat diteruskan ke pihak kepolisian dengan pasal pidana umum.
Kas i hhati melanjutkan, pelaksanaan UKW oleh Dewan Pers ini adalah bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan karena yang berwenang melaksanakan Uji Kompetensi adalah Lembaga Sertifikasi Profesi yang disahkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP dan bukannya oleh Dewan Pers. Ia menegaskan, seluruh LSP yang ditunjuk oleh Dewan Pers tidak memiliki dasar hukum untuk diterapkan bagi wartawan dalam mendapatkan sertifikat kompetensi.
Persoalan lain yang menghantui pers adalah ratusan ribu wartawan dan pekerja pers terancam kehilangan pekerjaan alias menganggur akibat ulah Dewan Pers yang ngotot menerapkan aturan kewajiban Verifikasi terhadap media massa meskipun bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Betapa tidak, sekitar 43 ribu media cetak dan elektronik (versi Dewan Pers) yang belum terverifikasi terancam ‘dibredel’ massal oleh Dewan Pers.
Di tengah upaya keras pemerintah merangsang pelaku usaha menciptakan lapangan pekerjaan baru, Dewan Pers justru sibuk mengeliminir eksistensi dan legitimasi perusahaan pers yang dianggap belum diverifikasi. Ke 43 ribu media yang belum terverifikasi tersebut, selain kehilangan legitimasi juga terancam dikriminalisasi oleh Dewan Pers.
“Fakta ini jelas menegaskan bahwa Undang-Undang Pers seolah-olah tidak berlaku bagi sekitar 43 ribu media yang belum terverifikasi Dewan Pers. Kondisi ini tak ubahnya dengan pembredelan masal model baru versi Dewan Pers,” terangnya.
Padahal, sesungguhnya kebijakan verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers telah melanggar dan menyimpang dari aturannya sendiri yakni Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Pada poin ke 17 peraturan tersebut, berbunyi “Perusahaan Pers media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi
Penyiaran Indonesia. Sangat jelas dan terang benderang bahwa aturan Dewan Pers tersebut menyebutkan tugas verifikasi adalah kewenangan Organisasi Pers dalam hal ini Organisasi Perusahaan Pers, tapi pada kenyataannya Dewan Pers secara sepihak mengambil alih peran tersebut.
Dalam kondisi pers nasional sudah seperti ini, negara kelihatannya belum mau hadir melihat keberadaan pers Indonesia yang makin terpuruk. Saya masih tetap optimis bahwa Bapak selaku Presiden Republik Indonesia tidak akan tinggal diam dalam menyikapi permasalahan pers di Indonesia.
Untuk mengatasi kondisi ini FPII minta dengan tegas kepada Presiden untuk segera membekukan dan membubarkan kepengurusan Dewan Pers periode ini dan menyerahkan sepenuhnya kepada seluruh Organisasi Pers dan perusahaan pers untuk menentukan kembali anggota baru Dewan Pers yang benar-benar profesional, dan bukan dari kalangan mantan pejabat yang hanya ingin tetap eksis dipentas nasional.
Kas i hhati menerangkan, anggota Dewan Pers harus lahir dari rahim insan pers dan seluruh organisasi pers dan perusahaan pers yang diakui oleh negara, dan bukan hanya dari segelintir organisasi pers saja. Jika Presiden mampu melakukan itu, maka persoalan Pers Indonesia akan segera teratasi.
Pada gilirannya Dewan Pers akan kembali kepada marwahnya. Dan tolong beri sanksi Kepala Daerah yang sudah membuat Pergub, Perda dan Perbubyang terkesan Penuh intervensi dan sangat merugikan insan Pers. Padahal Wartawan Dan Media Menengah kebawah dilindungi undang-undang dan punya legalitas hukum yang sah dari negara.
“KAMI JURNALIS PAK, BUKAN TERORIS” “KAMI JURNSLIS PAK, BUKAN KRIMINAL”. Apalagi disaat Pandemi ini, kami butuh dukungan dari semua Pihak untuk menjalankan tugas kami. Akhir kata, stop kriminalisasi pers dan kembalikan kemerdekaan kami,” tandasnya. (Asep Didi).