Keluarga Pasien BPJS Keluhkan Layanan RSUD Ciawi Tidak Memuaskan
BOGOR, RBO – Lagi, Orang miskin di negeri kaya raya ini jelas diharamkan sakit, sebab pihak rumah sakit kerap enggan melayani secara maksimal pada kategori pasien miskin, termasuk pada pengguna BPJS di layanan perawatannya.
Seperti halnya yang kini terjadi di RSUD Ciawi, di wilayah Kab Bogor, pada pasien pengguna BPJS/KIS, di ruang Seruni No. 2.11 lantai 3, hari Kamis (23/8/2022) lalu. Diduga Pelayanan Rumah Sakit RSUD Ciawi tidak memuaskan dalam pelayanan terhadap Pasien BPJS / KIS.
Kasus tersebut dialami salah satu pasien yang berinisial ” IN ” (36) yang mengalami sakit “Mi’um” dan pendarahan sangat banyak terkadang pasien merasakan nyeri yang luar biasa, akan tetapi mendapat pelayanan yang begitu tidak memuaskan.
Kepada media, suami IN mengatakan, sejak awal berobat datang ke RSUD Ciawi untuk kontrol ke poli kandungan pada Senin, (22/08/2022) yang sudah di jadwalkan dokter.
Setelah cek-up ke RSUD, disana mengambil kartu antrian untuk cek ke poli kandungan. Namun, saat dilantai 2 IN mengalami pusing dengan keadaan darah mengucur ke celana.
“Saat istri saya disuruh ke IGD, oleh perwat disana, hanya disuruh tiduran di kasur IGD, belum mendapatkan pelayanan dengan obat agar pendarahannya berhenti,” ungkap suami IN yang enggan disebutkan namanya.
Karena lamban diberi penanganan pertama, akhirnya pasen ini kembali ke klinik poli lantai 2, untuk memberikan berkas pada perawat, itupun harus menunggu lagi 30 menit. Lalu diarahkan lagi oleh perawat ke laboratorium.
“Ketika sampai di laboratorium,, saya sebagai suami mengambil obat difarmasi pada pukul 16:00 Wib, ternyata sudah tutup dan akhirnya kembali ke laboratorium,” terangnya.
“Setelah mendapatkan hasil laboratorium, saya dan istri kembali ke IGD Poli, guna minta tindakan penanganan pendarahan yang terus keluar banyak, hingga perutnya sakit dan melilit,” paparnya.
Meski langsung diberi pelayanan dengan cara di infus sekalian menunggu ruangan yang kosong. Namun suami IN kaget karena salah satu perawat memintanya ke bank darah, anehnya, darah yang dibutuhkan belum ada di PMI.
“Sehabis dari bank darah, istri saya mendapatkan ruangan Seruni jam 17: 45 wib, dan mengambil darah pada jam 18 :45 wib,” ujar suami IN.
Hari Selasa (23/8/2022), sumai IN datangi farmasi guna mengambil obat, ternyata pelayan farmasi mengatakan bahwa obat tersebut sudah tidak bisa diambil, karena sudah lewat tanggal. Pengambilannya harus sesuai tanggal.
Meski memohon untuk diberikan obat guna menghentikan pendarahan, namun keukeuh, oknum perawat itu tak bergeming. “Tidak bisa diambil obatnya,” ujar pelayan Farmasi dengan nada tinggi.
Setelah IN tiga hari dirawat, dokter menyampaikan pada pasien ini bisa pulang. Namun karena masih pendarahan, suami dari pasen ini bertanya kepada perawat.
Sang perawat hanya menanyakan resep yang kemarin tidak bisa dibawa dari farmasi. Alhasil, oknum pelayan Farmasi menyebut, jika obatnya habis dan memenrika secarik resep dokter yang harus dibeli secara mandiri, tentunya tak bisa dikaper oleh BPJS.
Parahnya lagi, ketika disuruh pulang pasien masih dalam keadaan Pendarahan, pusing, tapi perawat dinilai tak punya hati nurani, malah nelepon meminta Office Boy agar dianter keluar.
Karena tidak meyakinkan, terpaksa pasien berjalan dan dibopong oleh suaminya, hingga naik mobil, itupun pasien masih keadaan pendarahan dan pusing seketika. Pas turun dari angkot pun pasien muntah- muntah dengan kepala pusing.
Ketika awak media konfirmasi via WhatsApps, pihak RSUD Ciawi seolah – olah lempar tangan, kata Humas harus ke bagian itu, tapi setelah didatangi, kata ibu ini yang bertanggung jawab ini H.M.
Tak sampai disitu, saat media konfirmasi ke H.M, dia manjawab diplomatis.
“Mohon maaf pak yang mana ini data pasien dan berobatnya ke RSUD hari apa dan ke poli apa, saya akan telusuri dulu ya pa,” kata H.M kepada pihak media via WhatsApp.
Berdasarkan penjelasan suaminya di atas, apabila jika fasilitas pelayanan Kesehatan atau tenaga Kesehatan dengan sengaja menolak untuk memberikan tindakan medis pada pasien yang berada dalam keadaan darurat, maka dapat dituntut secara pidana dengan ancaman kurungan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak sebesar Tp. 200.000.000, 00.
Penasehat Hukum salah satu media online Memed,. MB. S.H mengatakan, ada sanksi bagi pihak rumah sakit yang tidak memberikan pelayanan atau menolak pelayan medis pada pasien ditegaskan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)..
Hal yang sama juga dipertegas dalam Pasal 85 UU Kesehatan terkait dalam hal keadaan darurat pada bencana,yang berbunyi : ” Berdasarkan Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan,
Sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit juga dikenal istilah gawat darurat. Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera, guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 UU Rumah Sakit.tutunya
“Selanjutnya, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit, RS wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya,” tegas Memed.
Seharusnya kata dia, seseorang yang mengalami keadaan gawat darurat tersebut harus langsung ditangani oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya.
“Apabila RS melanggar kewajiban yang disebut dalam Pasal 29 UU Rumah Sakit, maka rumah sakit tersebut dikenakan sanksi admisnistratif berupa (Pasal 29 ayat (2) UU Rumah Sakit) teguran; teguran tertulis; atau denda dan pencabutan izin Rumah Sakit,” terang Memed.
Selanjutnya Dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) menyebutkan, bahwa tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
Merujuk pada Pasal 17 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang antara lain juga menegaskan bahwa setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
“Harapan kami pada Departemen Kesehatan dan Kementrian kesehatan , Dinas Terkait, Infektorat, Buapati Kabupaten Bogor, DPRD Kabupaten Bogor agar bisa turun langsung untuk memberikan evaluasi terhadap tindakan maupun pelayanan terhadap pasien di RSUD Ciawi dan beri teguran Kepada Pihak RSUD Ciawi,” pungkas Memed.
(Asep Didi).