SOREANG, RB.Online – Bantuan pemerintah yang diperuntukkan terhadap keluarga tidak mampu, sepertinya akan selalu menjadi santapan para oknum yang selalu haus terhadap materi. Tidak peduli bila bantuan tersebut diperuntukkan terhadap masyarakat miskin, yang penting dirinya harus ikut mencicipinya.
Belakangan ini, 78 keluarga penerima program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), harus mengurut dada atas kerakusan oknum perangkat desa yang diduga kuat bersekongkol dengan pihak material untuk menaikkan harga material.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 1.805 rumah tidak layak huni (RTLH) di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat menerima dana Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Total dana yang disalurkan untuk program yang dikenal dengan istilah bedah rumah di Kabupaten Bandung adalah Rp 20 juta per unit rumah.
Seakan didesign agar perangkat desa ikut menangguk rejeki, dana Rp 20 juta tersebut diberikan dalam bentuk bahan bangunan senilai Rp 17.500.000, dan Rp 2.500.000 dalam bentuk tunai yang diberikan langsung kepada tukang/pekerja bangunan.
Mendapat angin segar melalui mekanisme pencairan dana, membuat beberapa oknum perangkat desa tergopoh-gopoh menghubungi pengusaha material bangunan agar harga bahan bangunan yang dibutuhkan dapat dinaikkan.
“Pembayaran yang dilakukan bukan berdasarkan kwitansi, akan tetapi berdasarkan harga sebenarnya, karena harga yang tertera dikwitansi itu sudah dinaikkan,” ujar salah seorang sumber di Desa Cimaung, Kecamatan Cimaung.
Diinformasikan, BSPS tahun 2021 untuk Kecamatan Cimaung tersebar di 4 desa dengan rincian Desa Cimaung 20 unit, Desa Warjabakti 20 unit, Desa Sukamaju 20 unit, dan Desa Mekarsari 18 unit.
Sementara dari hasil penelusuran, diperoleh informasi bahwa harga pasir di toko bahan bangunan hanya Rp 700 ribu untuk satu mobil engkel. Sementara di kwitansi perbelanjaan yang diterima oleh keluarga penerima manfaat (KPM), harga pasir yang tercatat adalah Rp 750 ribu untuk satu mobil engkel.
“Bila kebutuhan pasir untuk setiap KPM 3 mobil engkel, maka terdapat sellisih dana Rp 150 ribu dari setiap KPM. Bila di Kecamatan Cimaung terdapat 78 KPM, maka selisih dana mencapai Rp 11.700.000, itu dari satu jenis bahan bangunan,” pungkas sumber.
Demikian halnya dengan harga besi beton uk 10 yang harganya mencapai Rp 75 ribu/batang, sementara di pasaran harga besi tersebut hanya Rp 67 ribu. “Bila jumlah kebutuhan besi uk. 10 untuk setiap KPM 20 batang, maka terdapat selisih dana dari hasil mark up Rp 160 ribu dari setiap KPM, bila ditotal dari 78 KPM, maka terdapat selisih dana Rp 12.480.000 dari hasil mark up pembelanjaan besi uk. 10.
Saat dikonfirmasi, Hj. Lilis, pemilik Toko Bangunan Jembar Jaya menjelaskan terkait mahalnya bahan bangunan yang dijual kepada penerima program BSPS adalah merupakan kesepakatan dengan Fasilitator Teknis BSPS.
“Kesepakatan dengan Fasilitator dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama,” terang Lilis sembari enggan memperlihat surat perjanjian dimaksud.
Salah seorang penerima program BSPS di Desa Sukamaju menjelaskan, setelah saldo dana BSPS miliknya telah habis sementara terdapat kekurangan bahan bangunan, dirinya melakukan pembelian ke toko material lainnya.
“Faktanya memang harga di Jembar Jaya jauh lebih mahal ketimbang di toko bahan bangunan lain,” beber wanita paruh baya tersebut sembari meminta jati dirinya untuk tidak diungkap.
Saat hendak dikonfirmasi mengenai penjaringan penerima program BSPS dan penunjukan toko bahan bangunan, Kepala Desa Cimaung, Neneng Nurhayati sedang tidak berada di kantornya.
Melalui ponsel pribadinya kepala desa mengaku belum melakukan pengecekan program tersebut ke lapangan.
“Data KPM adalah merupakan pengajuan dari desa yang mendapat aspirasi dewan. Mengenai harga barang itu adalah merupakan hasil survey konsultan ke supplier,” pungkas Neneng melalui pesan aplikasi Whatshapp.
Terkait dengan mahalnya bahan bangunan BSPS, menurut penjelasan Fasilitator/Konsultan BSPS, Ogi dan Ivan sudah melalui survey harga terhadap beberapa supplier.
“Kita tidak asal tunjuk, itu dari pengajuan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Juknis, setelah sepakat lalu ditungkan dalam surat perjanjian kerjasama, kenapa harga lebih mahal dari konsumen biasa ?, itu karena sudah termasuk ongkos kirim, jadi harganya sudah sesuai dengan harga satuan kabupaten,” kilah Ogi (07/07) kemarin.(Herman)