DP2KBP3A Bersama TPPS dan TPK Tangani Prevalensi Stunting di Kabupaten Bandung

SOREANG, RBO  – Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Kondisi gagal tumbuh pada anak balita disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama serta terjadinya infeksi berulang akibat pola asuh yang tidak memadai terutama dalam 1.000 HPK.

Ciri-ciri anak tergolong stunting adalah memiliki panjang atau tinggi badan lebih rendah dari standar nasional yang berlaku. Standar dimaksud terdapat pada Kepmenkes No 1995/Menkes/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.

Pencegahan stunting penting dilakukan sedini mungkin untuk menghindari dampak jangka panjang yang merugikan seperti terhambatnya tumbuh kembang anak.

Parahnya lagi, stunting dapat mempengaruhi perkembangan otak sehingga menyebabkan tingkat kecerdasan anak menjadi terhambat dan cenderung tidak maksimal.

Selain itu, anak penderita stunting berisiko menurunkan produktivitas pada saat dewasa serta rentan terhadap penyakit. Anak stunting juga rentan terhadap penyakit kronis di masa dewasanya.

Bahkan, stunting dan berbagai bentuk masalah gizi diperkirakan berkontribusi pada hilangnya 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.

Artinya persoalan stunting adalah merupakan masalah serius bahkan menyebabkan sekitar 2 hingga 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB “hilang” pertahunnya akibat stunting.

Bahkan dalam hitung-hitungan Wakil Presiden Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu, dengan jumlah PDB Indonesia di tahun 2020 sekitar Rp 15 ribu triliun, maka potensi kerugian akibat stunting akan mencapai Rp 450 triliun. Bentuk kerugian yang tidak akan terjadi apabila persoalan stunting dapat segera teratasi.

Guna pencegahan stunting, beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah menitik beratkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan bergizi (makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan (kesehatan), serta kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan).

Keempat faktor tersebut sangat mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Intervensi terhadap keempat faktor tersebut diharapkan dapat mencegah masalah gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi.

Asupan gizi yang baik tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, tetapi juga dipengaruhi oleh pola asuh seperti pemberian kolostrum (ASI yang pertama kali keluar), Inisasi Menyusu Dini (IMD), pemberian ASI eksklusif, dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) secara tepat serta imunisasi lengkap untuk balita.

Selain itu, faktor kesehatan lingkungan seperti akses air bersih dan sanitasi layak serta pengelolaan sampah juga berhubungan erat dengan kejadian infeksi penyakit menular pada anak.

Permasalahan stunting pada usia dini terutama pada periode 1000 HPK, akan berdampak pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Stunting menyebabkan organ tubuh tidak tumbuh dan berkembang secara optimal.

Balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta _Disability-Adjusted Life Years_ (DALY’s) yaitu hilangnya masa hidup sehat setiap tahun.

Berdasarkan data studi status gizi Indonesia (SSGI) 2021 daerah perkotaan di Jawa Barat merupakan salah satu daerah dengan angka stunting yang tinggi. Bahkan Kota Cirebon dinobatkan sebagai daerah merah karena memiliki prevalensi stunting di atas kisaran 30 persen.

Malah Garut yang mempunya angka prevalensi 35,2 persen menduduki peringkat pertama di Jawa Barat yang memiliki prevalensi stunting tertinggi. Bersama Kota Cirebon, Cianjur, dan Kabupaten Bandung, Garut masuk dalam status merah.

Tidak ada satu pun kabupaten atau kota di Jawa Barat yang berstatus biru yakni dengan prevalensi di bawah 10 persen. Bahkan Kota Depok yang memiliki angka prevalensi terendah dengan 12,3 persen diharapkan memiliki strategi untuk menekan angka stunting.

DP2KBP3A Bersama TPPS dan TPK Tangani Prevalensi Stunting di Kabupaten Bandung

Pemerintah Kabupaten Bandung dalam mendukung Percepatan, Pencegahan dan Penanggulangan Stunting telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang terdiri dari seluruh unsur OPD dengan tugas dan fungsi berbeda.

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2P3A) Kabupaten Bandung, H. M. Hairun, SH, baru-baru ini dikantornya.

Disampaikan, dengan keberadaan 8.376 Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang tersebar di seluruh kecamatan dan desa/kelurahan diharapkan menjadi kekuatan besar dalam upaya percepatan penurunan stunting di Kabupaten Bandung.

“TPK yang terdiri dari unsur bidan atau tenaga kesehatan lainnya, kader tim penggerak PKK, kader keluarga berencana atau kader pembangunan lainnya, memiliki tugas sangat strategis dalam upaya penurunan dan pencegahan stunting, khususnya dalam mengubah perilaku masyarakat melalui berbagai penyuluhan yang dilakukan TPK,” ujar Hairun.

Selain meningkatkan akses informasi dan pelayanan melalui penyuluhan, fasilitas pelayanan rujukan dan fasilitas penerimaan program bantuan sosial, dengan keberadaan TPK dapat mendeteksi dini faktor resiko stunting baik secara spesifik maupun sensitif.

“Tentu saja TPK harus berfokus kepada sasaran pendampingan keluarga yang mencakup calon pengantin, ibu hamil, pasca persalinan dan anak-anak usia balita,” lanjutnya.

Untuk itu, dalam menjalankan misi pencegahan stunting, lanjut Hairun, TPK harus memberikan sosialisasi sehingga dapat mengubah mindset para calon pengantin untuk memprioritaskan pre konsepsi ketimbang pre wedding.

Pemeriksaan lingkar lengan, lingkar badan, tinggi serta barat badan dari calon mempelai sebagai pra-syarat untuk pernikahan sangat penting untuk mencegah kehamilan yang berpotensi stunting.

Lebih jauh H. Muhamad Hairun menyampaikan bahwa DP2KBP3A Kabupaten Bandung memiliki komitmen untuk menyelaraskan program-program penurunan stunting di Kabupaten Bandung sesuai dengan arahan BKKBN.

“Ini sudah menjadi komitmen penuh Pemerintahan Kabupaten Bandung bersama seluruh jajaran untuk melakukan sinergi dan konvergensi bagi penurunan stunting,” pungkasnya.

Disamping pemerintah, adanya partisipasi segenap lapisan masyarakat, pemuka agama, tokoh masyarakat, budayawan, mahasiswa dan pelajar sangat penting karena merekalah yang berperan penting di masyarakat untuk mencermati stunting yang ada di wilayahnya masing-masing-masing.

“Kami selalu siap menampung setiap informasi dan masukan dari segenap lapisan masyarakat untuk percepatan penurunan stunting yang merupakan persoalan kita bersama,” tutup Hairun.

Kepala Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera DP2KBP3A Kabupaten Bandung, Dra. Ela Aflaha, M.Si menambahkan, bahwa 30 hingga 35 persen kasus stunting pada anak dilahirkan oleh wanita yang menikah di usia muda.

“Untuk itu sangat tidak baik melakukan pernikahan di usia muda, maka menikahlah di usia 21 tahun agar melahirkan anak yang sehat,” himbaunya.

Sedangkan penyebab stunting lainnya adalah jarak kelahiran. Dalam berbagai penelitian, demikian Ela Aflaha, mengatur jarak kelahiran sangat berpengaruh terhadap stunting.

“Untuk itu, BKKBN mengajak keluarga untuk menjaga jarak kelahiran minimal tiga tahun antar satu anak dengan anak berikutnya,” ajaknya.

Disamping itu, Ela mengingatkan agar para ibu memperhatikan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang merupakan suatu periode kehidupan bayi sejak dalam kandungan hingga dua tahun menyusui.

Untuk itu, salah satu program yang akan menjadi fokus DP2KBP3A Kabupaten bandung adalah mengawal pertumbuhan penduduk agar tetap terjaga pada posisi Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) dengan rata-rata total fertilitas rate (TFR) berada di angka 2,1 dengan memberikan edukasi dan penyuluhan kepada calon pengantin, ibu hami serta ibu menyusui. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *