TAKALAR, RB.Online – Aliansi pemuda mahasiswa dan masyarakat Takalar yang kini bergabung, APDESI, FB – Hipermata, AMPI, Karang taruna, HMPG dan KPT melakukan aksi di depan kantor PLN Cabang Takalar.
Aksi tersebut menyoal atas pemadaman listrik penerangan lampu jalan yang terjadi di bulan Maret, yang membawa dampak sangat merugikan masyarakat Kabupaten Takalar.
Dalam orasi tuntutannya korlap aksi Suhardi meminta manajer PLN Cabang Takalar dicopot dari jabatannya, terkait ketidaktransparan serta meminta kepada pihak PLN Takalar, untuk memberikan data yang terbuka serta akuntabel
“Sehingga PLN Takalar tidak dianggap merampok dana pajak penerangan jalan umum (PJU) yang dibayarkan oleh masyarakat selama ini,” ujarnya.
Suhardi menegaskan, masyarakat menuntut bahwa ketidaktransparanan dan tidak akuntabelnya PLN Takalar terkait tagihan listrik ini, meminta kepada aparat penegak hukum (APH) baik Polres Takalar atau pun pihak kejaksaan negeri Takalar untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Kami juga akan melakukan pelaporan secara resmi kepada pihak APH terkait dengan dugaan kasus korupsi di pihak PLN,” ucap korlap Suhardi.
Saat perwakilan aksi dipanggil masuk untuk ketemu manager PLN Takalar, sangat disayangkan adanya pelarangan wartawan untuk masuk peliputan pembicaraan aksi dan manager PLN Takalar.
Maka pihak PLN sudah melanggar pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi,” setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.
Tindakan pihak PLN Takalar yang menghalangi kegiatan jurnalistik jelas diatur di dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 pada Pasal 18 Ayat (1) yang menyebutkan,
bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan peliputan tertuang dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3).
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah. (Arsyad Sijaya).