MALUKU, RB.Online – Dampak sosial yang dialami warga Kariuw, di Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah, 25 Januari 2022, bukanlah tanpa sebab. Ini adalah reaksi/bara dalam hati yang dipendam selama ini.
Reaksi warga Desa Pelauw dan Dusun Ory ini, dipicu perilaku warga Kariuw yang telah kehilangan adab sebagai negeri berpenduduk Kristen, yang bertetangga dengan desa-desa dengan mayoritas warga Muslim. Kondisi ini diperparah dengan sifat tamak warga Kariuw, untuk sengaja menguasai secara sepihak lahan warga adat maupun pemerintah Negeri Pelauw.
Tingkah laku warga Kariuw yang meresahkan itu, dan upaya penguasaan lahan-lahan dati milik pemerintah dan warga adat Desa Pelauw, semakin masif terlihat sejak tahun 2015. Hal ini memicu berbagai perselisihan antar warga Kariuw dengan warga Pelauw. Sejumlah perselisihan yang terjadi sering kali dimediasi pihak berwajib, yang mestinya berujung kesepakatan, namun ditolak warga Kariuw.
Sementara, untuk pemanfaatan lahan, tanpa didasari bukti sejarah yang kuat dan adminitratif, warga Kariuw selalu bersikukuh, mereka adalah pemilik sah lahan dati yang selama ini dipakai warga Desa Pelau dan dusun Ory untuk bercocok tanam.
Bukan hanya itu, benih kebencian terus ditabur warga Kariuw. Mereka sering melancarkan aksi-aksi pengancaman kepada warga dusun Ory maupun warga Desa Pelauw. Termasuk menuliskan kata-kata bernada teror, di tembok jembatan perbatasan antara Desa Kariu dan dusun Ory.
Berikut beberapa catatan terkait teror dan perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh warga Kariuw:
1. Kata-kata ” Leamoni Haus Darah, Lapar Daging” yang dicat berwarna merah oleh warga Kariuw, sebagai bentuk teror, ditulis pada tembok jembatan yang berlokasi di perbatasan Desa Kariuw dan dusun Ory sekitar tahun 2018. Tulisan itu kemudian dihapus pihak berwajib setelah mendapat laporan dari warga karena dinilai meresahkan warga.
2. Pengrusakan terhadap situs keramat di Hutan Rual-Rual Tahun 2018 – 2021. Padahal situs keramat Rual-rual bagi warga adat Pelauw adalah lokasi yang sakral dan memiliki peran penting untuk mendukung pelaksanaan tradisi Maatenu (Cakalele), yang marupakan kearifan lokal masyarakat setempat.
Itu sangat disayangkan, sebab situs budaya yang sudah ada sejak belasan abad lalu itu, dirusak bahkan sebagiannya dihilangkan. Hal ini sempat dilaporkan oleh Mata Rumah Tualeka ke Polsek Pulau Haruku dan ditembuskan ke Polda Maluku. Namun upaya mendiasi terkait hal ini, gagal dilakukan pemerintah dan pihak berwajib.
Ironisnya, menanggapi tuntutan warga Pelauw agar situs tersebut tidak diganggu, Sekretaris Desa Kariuw Lestefanus Leatomu didukung Saniri Negeri Joasaf Leatomu, justru malaporkan warga Pelauw ke polisi dengan dalih penyorobotan lahan.
Naifnya, isi surat yang juga ditandatangani Lodewik Tupalessy, Silas Pariury, Jusuf Pattiwaelapia dan Agustinus Pattiwaelapia, bahkan menghina dan menuding aktivitas adat/budaya atau kearifan lokal Maatenu (Cakalele) di situs Rual-rual, sebagai bagian dari penyembahan berhala. Padahal Maatenu (Cakalele) adalah kearifan lokal yang dilestarikan dari generasi ke generasi di Hatuhaha.
Mestinya sebagai orang beragama, warga Kariuw perlu menghormati adat istiadat atau budaya orang Pelauw, sehingga tidak perlu menyebut aktivitas Maatenu (Cakalele) di Rual-rual sebagai bagian dari penyebahan berhala. Karena itu adalah kearifan lokal masyarakat Hatuhaha, seperti tradisi/budaya serta kearifan lokal warga masyarakat lainnya di tanah air Indonesia.
3. Pelarangan terhadap aktivitas cakalele di Rual-Rual. Selain pengrusakan, warga Kariuw juga secara tegas meminta kepada warga Pelauw supaya tidak melakukan aktivitas apapun termasuk rangkaian upacara Maatenu (cakalele) di lokasi tersebut. Orang Kariuw dengan angkuhnya, memasang tanda larangan di areal situs itu.
Bagi warga Desa Pelauw dan dusun Ory, larangan tersebut bagian dari upaya menabur benih-benih kebencian atau upaya provokatif. Mengingat tradisi Maatenu (Cakalele) telah dilakukan sejak beberapa abad lalu. Dan selama ini tidak pernah ada komplain dari pihak Kariuw, mulai dari masa orde lama, orde baru mapun di zaman reformasi. Para leluhur Kariuw tetap menghargai kearifan lokal tersebut. Baru belakangan ini ada boikot terhadap aktivitas Maatenu (Cakalele) di Rual-rual oleh warga Kariuw.
4. Ujaran kebencian terhadap warga Ory maupun Pelauw melalui media sosial. Kalimat-kalimat bernada provokasi dan ujaran kebencian yang dilakukan warga Kariuw, melalui akun media sosial semakin masif, setelah adanya aksi boikot aktivitas Maatenu (cakalele) di Rual-rual. Upaya ini terkesan menjustifikasi aksi-aksi warga Kariuw yang merusak situs budaya di Rua-rual dan aksi pemboikotan tradisi Maatenu.
Meski diserang dengan ujaran kebencian dan provokasi di media sosial, namun tidak satupun warga Pelauw maupun warga Dusun Ory menanggapinya secara berlebihan, termasuk soal tuduhan kepemilikan lahan yang dilalukan oleh pihak Kariuw melalui media sosial.
5. Aksi palang jalan dilakukan warga Kariuw, sehingga mengganggu aktivitas warga yang hendak bepergian. Kondisi masyarakat yang mendiami Kariuw sekarang mengalami perubahan yang drastis. Harmonisasi yang dulunya dipraktekan para leluhur mereka, hilang begitu saja. Hampir tidak ada suasana keakraban sesama negeri tetangga yang mereka tunjukkan.
Sikap superhero dan tidak mau tahu dengan keadaan ini, mereka praktikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak jarang warga yang melakukan aktivitas perjalanan dari dan akan melewati Kariuw, merasa terganggu dan terancam. Sebab sudah sering kali mereka memasang memportal atau memalang jalan, untuk membatasi aktivitas warga yang lalu lalang melewati negeri mereka.
6. Penguasaan secara sepihak lahan perbatasan. Lahan yang berada tepat di bawah Sekolah Dasar All-Khairiyah Ory ini, sejak puluhan tahun silam, sampai ke generasi sekarang dipakai oleh keluarga Abdurahman untuk bercocok tanam. Namun setelah konflik, lahan itu diklaim oleh Keluarga Bernadus Leatomu.
Bernadus Leatomu yang memiliki seorang anak anggota polisi dan bertugas di Polsek Pulau Haruku bernama Stefy Leatomu bahkan melarang turunan dari Abdurahman, untuk memanfaatkan lahan tersebut. Dalilnya lahan itu masih sengketa dan masih dalam proses persidangan. Padahal proses persidangan sendiri terkait lahan itu tidak pernah ada.
Keluarga Abdurahman telah meminta pihak Camat Pulau Haruku untuk memediasi perselisihan ini, namun pada waktu undangan pertama disampaikan tanggal 23 Desember 2021, Bernadus tidak menghadirinya. Di sisi yang lain Bernadus mengaku memiliki dokumen pembelian lahan tersebut yang tidak pernah jelas dibeli dari siapa dan wujud dari dokumen pembelian tanah tersebut.
Berikut ini kronologis peristiwa 25 Januari 2022:
a). Pada tanggal 25 Januari 2022, pukul 15.00 WIT Bernadus Leatomu masih tetap melakukan aktivitas di lahan tersebut. Ketika itu, salah satu warga dusun Ory atas nama Abd. Karim Tuankotta yang hendak bepergian ke Desa Pelauw, dengan sopan meminta Bernadus untuk sementara menghentikan aktivitas penanam di atas lahan tersebut, karena masih ada komplain dari keluarga Abdurahman.
Bernadus yang tidak terima, lalu berdebat kusir dengan Abd Karim. Sesaat kemudian belasan warga Kariuw baik laki-laki maupun perempuan menghampiri lokasi perdebatan, termasuk oknum anggota Polsek Pulau Haruku Stefy Leatomu (anak Bernadus) dan Junadi Leatomu. Dalam suasana terkepung oleh warga Kariuw, Abd Karim sempat dicaci maki dan ancaman. Para warga Kariuw ini juga menyindir keberadaan warga dusun Ory, yang menurut mereka menempati tanah miliki Kariuw.
Karena merasa sendiri di tengah kepungan warga Kariuw, Abd Karim tidak dapat berbuat banyak. Warga dusun Ory yang mendapati kabar adanya perdebatan di perbatasan, lalu menghampiri lokasi. Perselisihan ini lantas dimediasi. Masing-masing pihak akhirnya kembali melakukan aktivitas secara normal.
b). Pemukulan Junadi Leatomu. Baru saja bubar dari lokasi perselisihan, salah satu warga Kariuw yang tadi ikut berdebat, bernama Junadi, bersama tiga orang warga Kariuw lainnya, mengendarai dua sepeda motor dari arah Kariuw melewati ruas jalan utama dusun ory. Saat itu warga di dusun ory baru saja balik dari lokasi percekcokan.
Junadi melakukan aksi provokasi, dengan cara memacu kendaraannya secara ugal-ugalan. Suara kendaraannya yang bising membuat warga naik pitam. Bahkan beberapa orang tua yang berdiri di tepi jalan nyaris tertabrak. Warga yang sudah keburu emosi, memukul Junaidi ketika dia kembali memacu kendaraannya untuk balik ke arah Kariuw.
c). Penembakan ke arah dusun Ory
Setelah Junadi berhasil kembali ke Kariuw dengan kondisi luka pukulan di tubuhnya, warga dusun Ory sontak dibuat panik dengan bunyi tembakan senjata api organik dari arah Kariuw.
Kuat dugaan tembakan itu berasal dari arah tower Gereja. Proyektil pelurunya terkena salah satu tiang lisrik.
Bunyi tembakan ini membuat warga dusun ory mengira telah terjadi penyerangan. Mengingat warga Kariuw sering berucap ketika terjadi percekcokan sering menggaungkan kata-kata ” Ory hanya 15 menit, Pelauw satu jam”.
Dengan menggunakan alat seadanya warga dusun ory lalu bersiap-siap jika ada penyerangan ke Ory. Para perempuan dan anak-anak serta warga yang lansia, langsung diungsikan ke lokasi aman. Penembakan tersebut juga dinilai warga Ory sebagai bentuk provokasi nyata pihak Kariuw.
Kesimpulan
Dari rentetan kejadian yang diuraikan di atas dapat disimpulkan, ada upaya secara sistematis dan masif untuk menghilangkan pranata adat orang Pelauw, serta gerakan secara struktur untuk pengkaburan sejarah yang dilakukan pihak Kariuw terhadap apa yang diyakani orang Pelauw dan masyarakat umum. Dengan sistematis, warga Kariuw pula yang melakukan teror dan provokasi kepada warga Pelauw dan Dusun Ory sehingga bencana kemudian datang menghampiri warga Kariuw pada tanggal 26 Januari 2022. (Arsyad Sijaya)