Oknum Kepsek SMPN 2 Pondoksalam Tidak Paham Hukum, Diduga Main Bisnis Seragam Sekolah
Purwakarta, RBO – Dunia pendidikan kembali tercoreng setelah salah satu sekolah menengah terkemuka SMPN 2 Pondoksalam.
Secara terang-terangan mengakui praktik penjualan seragam sekolah kepada siswa baru maupun lama. Pengakuan ini disampaikan kepada awak media dengan nada yang defensif dan berbagai dalih yang dinilai tidak berdasar.
Hal itu memicu kemarahan publik dan desakan agar aparat penegak hukum serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) segera bertindak.
Dalam konferensi pers dadakan yang berlangsung tegang, pihak Sekolah dengan suara tinggi membenarkan bahwa sekolah mereka memang menjual seragam.
Dalih utama yang diutarakan adalah untuk menjaga “keseragaman kualitas dan model” serta menutupi “biaya operasional tambahan yang tidak ter-cover oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)”.
”Kami melakukan ini demi siswa, agar seragamnya sesuai standar sekolah. Lagipula, uangnya kami gunakan kembali untuk kebutuhan sekolah yang belum terdanai,” ujar Kepala Sekolah tersebut, menolak anggapan bahwa praktik ini adalah bentuk pungutan liar (pungli).
Namun, dalih ini secara tegas bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Praktik penjualan seragam oleh sekolah merupakan pelanggaran serius terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal 6 Permendikbud tersebut dengan jelas mengatur bahwa pengadaan seragam menjadi tanggung jawab orang tua atau wali murid, bukan sekolah.
Pelanggaran Hukum dan Ancaman Pidana
Lebih lanjut, tindakan sekolah yang mewajibkan pembelian seragam di lingkungan sekolah dan menjadikannya syarat masuk dapat dikategorikan sebagai Pungutan Liar (Pungli), yang merupakan tindak pidana.
Secara hukum, praktik ini berpotensi melanggar
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya yang berkaitan dengan hak-hak peserta didik dan tanggung jawab penyelenggara pendidikan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang melarang pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, untuk menjual seragam atau bahan seragam.
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) BOS, yang menegaskan bahwa dana BOS tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan yang sudah dibiayai oleh pemerintah pusat/daerah, dan tidak dapat dibebankan kepada siswa.
Jika terbukti adanya unsur pemaksaan dan penggelapan dana, pihak sekolah dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan atau bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), mengingat sekolah sebagai penyelenggara layanan publik yang menerima dana dari negara.
Reaksi Publik dan Desakan Sanksi
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan sejumlah pengamat pendidikan mengecam keras pengakuan ini, menilai tindakan sekolah telah menciptakan “biaya siluman” dalam pendidikan gratis.
”Pengakuan ini bukan pembelaan, tapi pengukuhan status sebagai pelanggar hukum. Sekolah tidak berhak menjadi toko seragam, apalagi memaksa. Kami mendesak pihak Dinas Pendidikan dan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek untuk tidak hanya memberi sanksi administratif, tetapi juga melibatkan kepolisian untuk mengusut dugaan tindak pidana di baliknya,” tegas Rahmat Saleh, Koordinator Jaringan Pemerhati Pendidikan (JPP).
Saat ini, kasus penjualan seragam yang diakui secara kontroversial oleh pihak sekolah tersebut telah diserahkan ke tim investigasi gabungan.
Sekolah terancam pencopotan izin operasional, dan oknum yang terlibat, termasuk Kepala Sekolah, terancam sanksi berat, mulai dari pencopotan jabatan hingga jeratan pidana. (Iyus)
