Warga Desak Penindakan Tegas Penjualan Obat Keras Ilegal di Jl Raya Cipatik Cihamplas
Kab. Bandung Barat, RBO – Kemarahan warga Jl,Raya, Cipatik Kecamatan Cihamplas, Kabupaten Bandung Barat kian memuncak. Praktik penjualan obat keras daftar G—terutama Tramadol dan Eximer—yang diduga berlangsung secara ilegal dan terbuka, dinilai sebagai bentuk pembiaran yang tidak dapat ditoleransi oleh aparat penegak hukum maupun lembaga pengawas obat nasional.
Warga menyebut aktivitas tersebut bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi ancaman serius bagi keselamatan generasi muda, mengingat kedua obat itu telah lama dikategorikan sebagai obat yang diawasi ketat karena berpotensi menimbulkan ketergantungan dan penyalahgunaan.
“Ini sudah bertahun-tahun bukan rahasia lagi. Tidak mungkin aparat tidak tahu. Yang membuat kami marah, kenapa dibiarkan?” ujar seorang warga Lembursawah yang enggan disebutkan namanya demi keamanan.
Ahli hukum kesehatan dari Universitas Padjadjaran, Dr. Hari Wibowo, menegaskan bahwa penjualan obat keras seperti Tramadol dan Eximer tanpa resep dokter merupakan tindak pidana.
“Regulasi di Indonesia sudah sangat tegas. Tidak ada ruang abu-abu soal peredaran obat daftar G. Jika ada toko menjual tanpa izin dan tanpa resep, itu tindak pidana murni yang wajib ditindak aparat,” kata Hari.
Ia merujuk sejumlah aturan tegas, antara lain Dasar Hukum Penindakan
1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 196: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
2. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika & Pengaturan Psikotropika
Mengatur pengawasan dan ancaman pidana terhadap penyalahgunaan obat-obatan yang memiliki efek psikotropika seperti Tramadol dan Eximer.
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/Per/X/1993
Mengatur distribusi obat keras (daftar G) yang wajib resep dokter, penyimpanan khusus, dan penjualan hanya oleh apotek berizin.
4. Peraturan BPOM tentang Pengawasan Peredaran Obat
BPOM dapat melakukan penyegelan, penarikan obat, hingga proses hukum terhadap pelaku dan fasilitas yang tidak berizin.
Menurut Hari, jika terjadi pembiaran, maka bukan hanya penjual yang melanggar hukum.
“Pembiaran oleh aparat bisa mengikis kepercayaan publik dan dapat dianggap sebagai kelalaian serius. Prinsipnya, jika obat keras beredar bebas, maka sistem pengawasan resmi sedang gagal.” jelasnya.
Di Jl.Raya Cipatik Kec Ciamplas Kab Bandung Barat Jawabarat, keresahan bukan lagi sebatas percakapan warung. Para orang tua menyebut maraknya peredaran obat keras sebagai ancaman langsung terhadap masa depan anak-anak mereka.
“Kami takut anak-anak sekolah terpapar. Obat itu dijual seperti permen. Presiden Prabowo sedang membangun generasi unggul, tetapi di daerah kami justru dibunuh pelan-pelan oleh obat ilegal,” ujar seorang ibu rumah tangga di Lembursawah.
Warga juga mempertanyakan sikap pemerintah desa, kecamatan, kepolisian sektor hingga BPOM, yang dinilai tidak hadir untuk merespons persoalan yang sudah lama muncul.
“Kami butuh tindakan nyata, bukan sekadar razia seremonial sekali-sekali. Ini harus diberantas sampai ke akar, bukan hanya tutup lalu buka lagi,” tegas warga lainnya.
Warga menyampaikan permintaan resmi dan terbuka kepada sejumlah lembaga untuk segera turun tangan Kapolsek Cililin, Kapolda Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, Kapolri, Menteri Kesehatan RI dan BPOM Pusat.
Mereka menilai kasus ini harus dijadikan prioritas karena menyangkut keselamatan publik dan masa depan generasi muda.
“Kami meminta pengawasan menyeluruh, penutupan total lokasi, penindakan pidana kepada pelaku, serta evaluasi kinerja aparat wilayah. Jangan biarkan Sukabumi menjadi ladang subur bagi peredaran obat perusak mental anak bangsa.” katanya.
Pengamat kebijakan publik, Dr. Rachmat Laksamana, menilai persoalan ini ironis bila dibandingkan dengan program nasional yang tengah digencarkan pemerintah.
“Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan menegaskan pentingnya generasi muda yang sehat dan produktif. Jika daerah tidak mampu menertibkan peredaran obat ilegal, maka visi besar itu tinggal slogan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pemerintah daerah dan kepolisian wajib menunjukkan keseriusan, karena peredaran obat daftar G berkaitan langsung dengan kriminalitas, kecanduan, dan degradasi kualitas SDM.
Penjualan ilegal Tramadol dan Eximer di Lembursawah bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi uji kredibilitas aparat penegak hukum daerah dan lembaga pengawasan obat nasional.
Warga menuntut penindakan cepat, tegas, dan berkelanjutan, bukan lagi janji maupun razia simbolis. (A.Hidayat)
