Bertakwa dalam Segala Keadaan
Penulis: Abd.Mukti -Pemerhati Kehidupan Beragama
Takwa merupakan derajat termulia bagi seorang Muslim. Karenanya, bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah swt telah dipersiapkan surga di akhirat.
(QS.Ali Imran : 133) Untuk itu, apapun aktifitas seorang muslim harus senantiasa berorientasi menuju ‘taqwallah’, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sebagai upaya menuju ‘taqwallah’, kita diperintahkan untuk menjalankan ibadah dan dakwah. Dalam kondisi apapun bagi seorang Muslim, tidak ada alasan untuk tidak menjalankan kedua aktivitas ini. Sebab,kedua aktivitas ini adalah kewajiban yang juga telah diteladankan oleh Rasulullah saw dan para Sahabatnya.
Terkait hal ini Rasulullah saw bersabda dalam hadits berikut :
Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahu’anhu, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن
Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih’
Konsisten dalam bertakwa artinya dalam kondisi apapun kita dipetintahkan untuk bertakwa. Juga tidak pandang bulu dan tidak pandang status sosial : selagi kaya atau miskn, pejabat atau rakyat jelata, laki-laki atau perempuan, saat senang maupun saat susah, semuanya terkena ‘taklif’ dari Alllah maupun Rasul-Nya untuk bertakwa.
Saat menjadi orang Kaya
Saat menjadi orang kaya baik dari kalangan pejabat negara, pengusaha maupun kelas elite lainnya tidaklah layak berdalih bahwa ia tidak sempat beribadah dan berdakwah karena terlalu sibuk mengurus,mengelola dan memelihara kekayaan atau kekuasaannya.
Kalau ini dijadikan alasan, pantaslah ia malu dengan generasi para Sahabat Nabi yang kaya-kaya : Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththab, Usman bin ‘Affan, dan Abdurrahman bin ‘Auf.
Mereka bukan saja ahli ibadah dan aktifis dakwah. Mereka bahkan menjadikan semua kekayaannya sebagai sarana untuk makin mendekatkan diri kepada Allah swt dan berjihad di jalan-Nya.
Menjadi orang kaya janganlah bersikap sombong, karena merasa dirinya hebat sehingga angkuh suka menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia. Jika ‘takabbur’ atau sombong, ancamannya tidak main-main, baca hadits ini !
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim )
Ancamannya tidak bakalan bisa langsung masuk surga, yakni transit dulu di neraka karena sikap angkuhnya itu.
Menjadi orang kaya jangan sampai dilalaikan oleh hartanya yang banyak untuk beribadah dan berdakwah.
Allah swt mengingatkan kepada orang-orang beriman agar harta dan anak mereka tidak melalaikan untuk berzikir kepada Allah swt :.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ٩
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS.Al-munafiqun 9).
Zikir disini artinya luas yakni segala bentuk ketaatan dan ibadah kepada Allah swt.
Justru menjadi orang kaya itu dapat memperbanyak infak di jalan Allah. Inilah tamsil keutamaan infak di jalan Allah dalam Al-Quran :
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١
“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui”( Al-bsqarah 261).
Keutamaan infak di jalan Allah sampai 700 kali lipat pahalanya. Infak di jalan Allah bisa sedekah kepada orang tua, anak yatim, fakir miskin dan juga bisa infak untuk aktivitas dakwah dan ibadah di masjid atau madrasah.
Saat Menjadi Penguasa
Saat menjadi penguasa, pejabat pemerintah atau pimpinan yang mempunyai otoritas kekuasaan justru dapat melakukan dakwah dan amar makruf nahi munkar dengan efektif kepada rakyat yang dipimpinnya.
Rasulullah saw bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa tugas amar makruf nahi munkar itu akan sangat efektif jika dilaksanakan dengan tangan atau kekuasaan. Para pejabat yang punya otoritas kekuasaan akan sangat efektif untuk melakukan tugas amar makruf dan nahi munkar.
Jika tugas ini dilaksanakan dengan baik akan sangat bermanfaat untuk umat dan sekaligus pahalanya lebih ‘afdhal’ dibanding ibadah ‘mahdhah’ suatu ibadah yang manfaatnya hanya untuk pribadi.
Jadilah Pemimpin Yang Amanah
Seorang penguasa atau pemimpin harus amanah. Karena kepemimpinannya akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt sebagaimana hadits :
Dalam hadits yang sahih disebutkan: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ،
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.” (HR.Al-Bukhari & Muslim).
Dalam hadits yang lain ditegaskan :
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ma’qil bin Yasâr Radhiyallahu anhu berkata, aku mendengar Rasûlullâh Saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.” [Muttafaq alaih]
Subhanallah, ancamannya begitu dahsyat bagi pemimpin yang curang, korup,tidak adil, menipu rakyatnya, Allah haramkan masuk surga. Na’udzubillah mindzalik.
Saat Menjadi Orang Miskin
Jika kita ditakdirkan Allah Ar-razzaq menjadi orang miskin, faqir atau dhu’afa, maka sebagai orang beriman wajib kita terima dengan sabar dan ikhlas ketentuan dan takdir ilahi itu.
Sebagai orang faqir, miskin dan dhu’afa tidaklah pantas berdalih bahwa ia tak sempat beribadah dan berdakwah karena ia terpaksa disibukkan dengan kemiskinannya.
Justru menjadi orang miskin atau faqir, akan masuk surga lebih dulu dari pada orang kaya sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah saw :
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ
“Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan,
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47). Oleh karenanya, setengah hari di akhirat sama dengan 500 tahun di dunia.
Menjadi orang faqir, miskin dan keluarga dhu’afa kuncinya harus sabar dan ikhlas atas qadha dan taqdir ilahi dengan tetap bertakwa kepada Allah swt. Insya Allah nanti di akhirat masuk surga lebih dulu dari pada orang-orang kaya.
Semoga kita senantiasa dalam rahmat dan lindungan Allah sehingga kita termasuk hamba-Nya yang bertakwa. Aamiin