BOGOR, RB.Online – Efek dominan Pandemi Global Covid 19 di negi Indonesia adalah diberlakukannya istilah, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berjilid jilid yang dinilai tak jelas efektifitasnya.
Namun, yang kontras efeknya adalah kesengsaraan dan resahnya rakyat Indonesia dalam banyak faktor akibat pengetatan aturan masa PPKM yang berjilid jilid. Rakyat yang “telah kuat” kini menjadi lemah, mirisnya awalnya sudah lemah kian jadi lemah dibuatnya.
Lemah, bukan karena kekhawatiran akibat dari gencarnya pemberitaan, hingga kampanye pihak pemerintah, melalui tim Satgas atau pun Komite penanganan Covid saja. Namun ada hal yang tak kalah mengkhawatirkan di benak dan hati rakyat pada umumnya. Dalam konteks dinamika hidup dan kehidupannya, yakni dampak Sosial Ekonomi.
Tidak terkecuali pihak perusahaan media cetak pun turut merasakan itu, dari menurun drastisnya konsistensi kemampuan cetak dan penerbitannya hingga menelan pil pahit penghentian sementara berlangganan oplah dari para pelanggan dan lainnya.
Dibawah ada lagi yang lebih mengkhawatirkan, yang merasakan secara langsung dampak buruk PPKM berjilid. Mulai dari para pedagang kecil, para sopir angkot ragam rute trayek, Photocopy, outlett parfum, pangkas rambut, wirausahawan ragam kuliner, pedagang buah eceran, kelontong, para pedagang di pasar pasar tradisional, hingga pekerja serabutan dan masih banyak lagi bidang usaha lain yang tak bisa disebutkan semua.
Tapi intinya, secara globalnya nyaris tak ada yang tak merasa terdampak. Kecuali dari kalangan Pemerintah seperti para Pegawai di KSP, Satgas Penanganan Covid-19, TNI/POLRI, ASN, PNS, para Wakil Rakyat, pekerja BUMN dan yang memiliki “hubungan baik juga dekat” dengan para penguasa, mungkin tak merasakan dampaknya.
Karena bukan Pandemi maupun Covid 19 nya itu, ataupun fenomenanya yang menebarkan akibat buruk atau dampak bagi keterpurukan ini. Namun lebih dominan karena adanya PPKM berjilid jilid yang sudah berjalan berbulan bulan ini.
Lihatlah orang orang yang kini hidup dibawah, yang menjalani profesi tersebut diatas, kini jadi tidak mampu menopang resiko kehidupannya lagi akibat PPKM. Di dalam kepatuhan mereka pada aturan PPKM, dibayangi juga kecemasan mereka yang mendasar. Karena jalan usaha bagi mereka yang terdampak PPKM, memicu pendapatannya menjadi anjlok drastis.
Seperti diakui Rusdi, pedagang Rokok berikut kopi seduh serta jajanan dibilangan lampu merah Laladon. Ia mengaku omsetnya anjlok sangat drastis, rata rata antara 40 hingga 50 persen/hari.
“Biasanya, sebelum PPKM diberlakukan, saya bisa mendapat uang total antara Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu/hari, kadang lebih, tetapi saat ini hanya stagnan dikisaran Rp 200 hingga Rp 300an ribu saja/hari. Itu omset total, atau pendapatan kotornya,” papar Rusdi, Rabu (28/07/2021) malam tadi.
Berbeda dengan MS alias Ujang, yang ngaku penjualan parfum outletnya anjlok samat drastis, dari yang biasanya bisa beromset antara Rp 800 ribu hingga Rp 2 jutaan/hari, kini rata rata hanya antara Rp 200an hingga Rp 300an ribu saja/hari, itu pun omset total.
Lain lagi dengan Deny, usaha photo copy serta pengetikan, cetak print, penjilidan serta berbagai layanan jasa pelengkapnya, juga penjualan ATK dan pernak perniknya, di bilangan Dramaga yang mengaku, omsetnya kini anjlok antara 60 hingga 80 persen dari biasanya.
Itu karena pelanggannya dominan pelajar, pekerja kantor pemerintah, instansi, mahasiswa, kalangan dunia pendidikan dan lainnya, namun hancur karena sistem Work from Home (WfH) yang didaringkan.
“Semula bisa mencapai omset diangka Rp 2 hingga Rp 3 jutaan lebih, saat ini rata rata di kisaran Rp 400an hingga Rp 800 ribu, atau maksimal di Rp 1 juta hingga Rp 1,2 juta, sesekali saja dalam sehari. Itu omset totalnya,” kata Deny.
Berbeda, Abah pemilik warkop (Warmindo), dia mengaku pemasukan di usahanya itu, hanya mampu tembus sekitar seperempat dari omset biasanya, sebelum kena PPKM. Yakni, dari biasa bisa mencapai Rp 600an hingga Rp 800 ribu lebih, semenjak PPKM, masih bersyukur bisa beroleh uang antara Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu juga.
“Hancur ekonomi kita, karena yang biasa jajan di Warmindo saya itu, kini kebanyakan terdampak juga penghasilannya itu. Seperti para tukang ojeg atau sopir sopir angkot,” tandas Abah.
Demikian fakta yang didapat RB.Online dilapangan, di beberapa tempat dan dari sekian sumber yang berbeda beda. Sebagai pembuktian, efek buruk PPKM itu benar benar dirasakan oleh beragam kalangan, menghantam telak ke jantung sosial ekonomi si masyarakat lemah, kelas menengah kebawah. (Asep Didi)