JAKARTA, RBO – Kejadian seorang oknum anggota polisi yang kembali mempertontonkan sikap arogansinya kepada anggota masyarakat yang merupakan sopir taksi online, RF (37), baru-baru ini sekan menambah catatan kelam citra institusi Polri.
Bagaimana tidak, kejadian yang tidak patut dicontoh tersebut berawal saat penumpang taksi online yang merupakan anggota polisi berpangkat satu melati emas di pundak tersebut tidak memahami aturan yang tidak boleh dilanggar setiap driver taksi online.
Oknum Polisi yang terakhir diketahui bertugas di Polda Maluku awalnya duduk di bagian belakang mobil bersama dengan seorang wanita meminta kepada driver untuk merubah rute perjalanan.
Jelas hal tersebut akan ditolak oleh driver karena sudah menjadi aturan baku dari managemen agar setiap pengemudi menjemput dan mengantar costumer sesuai titik yang tercantum pada aplikasi.
Akibad penolakan tersebut menyebabkan perdebatan yang tidak terelakan, bahkan membuat oknum polisi yang diketahui bernama Bambang Surya Wiharga membuka pintu mobil dan menonjok wajah driver
Setelah menonjok, pelaku dan teman wanitanya segera keluar dari mobil. Aksi kekerasan tersebut terekam oleh kamera tersembunyi yang ada dalam taksi online. “Ini ada rekaman loh, ada rekaman, gue laporin lu nonjok gua, awas lu,” kata korban kepada pelaku.
Sementara itu, pelaku yang sudah berada di luar mobil terlihat kesal dan mempertanyakan ancaman korban.
Dari penelusuran, terungkap bahwa pria yang menonjok sopir taksi online tersebut merupakan Kasubdit Penegakan Hukum di Direktorat Lalu Lintas Polda Maluku.
Kini, Bambang harus menanggung akibat perbuatannya. Ia telah dicopot dari jabatannya dan dipindahkan ke bagian Pelayanan Markas (Yanma) Polri oleh Kapolda Maluku. “Dijadikan pamen Yanma,” ujar Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol Aries Aminullah, kepada wartawan baru-baru ini.
Peristiwa ini tentu menambah panjang daftar kekerasan yang melibatkan anggota Polri terhadap masyarakat, dalam hal ini seorang sopir taksi online.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 1 Juli 2024, tercatat 645 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri sejak Juli 2023 hingga Juni 2024.
Dari jumlah tersebut, 460 peristiwa terkait penembakan, 52 kasus penganiayaan, 37 kasus penyiksaan, 49 penangkapan sewenang-wenang, 37 peristiwa pembubaran, dan 33 intimidasi. KontraS menyebut, kekerasan yang melibatkan anggota Polri itu menyebabkan 754 korban luka dan 38 korban tewas.
Dengan demikian, kasus Kompol Bambang yang memukul RF ini menyoroti pentingnya kontrol diri dan profesionalisme di tubuh Polri.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menyayangkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota polisi Kompol Bambang terhadap sopir taksi online.
Menurut Poengky, apapun masalah yang muncul, seharusnya diselesaikan dengan cara komunikasi yang baik, tanpa perlu emosi bahkan terjadi kekerasan.
“Seharusnya masalah apapun bisa diselesaikan dengan komunikasi. Jangan sampai emosi menguasai, menunjukkan kekuatan, lalu memukul orang yang dianggap lemah,” ujar Poengky dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (5/11/2024).
Kompolnas juga mengapresiasi langkah tegas Kapolda Maluku yang langsung mencopot Kompol Bambang dari jabatannya. Menurut Poengky, langkah tersebut menunjukkan keseriusan Polri dalam menanggapi pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya.
Namun, Poengky menekankan pentingnya agar Kompol Bambang diperiksa lebih lanjut terkait dugaan pelanggaran kode etik.
“Semestinya Kompol BSW bisa diproses secara pidana, namun karena perdamaian telah tercapai dan laporan dicabut, proses pidana dihentikan. Namun, langkah etik tetap harus diambil untuk memberikan efek jera,” tambah Poengky.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), Edi Hasibuan, juga memberikan pandangannya terkait insiden tersebut.
Tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh Kompol Bambang terhadap warga dianggap tidak dibenarkan, terutama jika dilakukan tanpa alasan yang jelas dan sah menurut hukum.
Polisi sebagai penegak hukum, seharusnya mengedepankan profesionalisme dan menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam tindakan arogansi yang melanggar hukum.
“Apapun yang terjadi, jika seorang polisi melakukan penganiayaan, itu adalah pelanggaran hukum. Polisi adalah pengayom dan pelindung masyarakat, jadi tindakan kekerasan seperti itu tidak boleh terjadi,” tegas Edi.
Meskipun ada kemungkinan penyelesaian melalui jalur mediasi atau perdamaian antara korban dan pelaku, hal tersebut tidak seharusnya mengesampingkan proses hukum yang ada. Menurut Edi, penting bagi Polri untuk menunjukkan bahwa tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian tidak akan dibiarkan begitu saja.
“Kami minta kepada Polda Maluku agar diproses secara hukum karena bagaimanapun juga itu adalah masyarakat,” ujar Edi.
Insiden ini menjadi pelajaran penting bagi Polri bahwa emosi tidak boleh menguasai tindakan, apalagi jika melibatkan aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan.
Proses hukum yang adil dan tegas, baik secara pidana maupun etik, diperlukan untuk memastikan bahwa peristiwa seperti ini tidak terulang lagi.
Institusi Polri, yang memiliki tugas mulia untuk menjaga keamanan dan ketertiban, harus bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, termasuk dalam hal pengendalian diri dan menyelesaikan masalah secara profesional.
Dengan adanya sanksi tegas terhadap Kompol Bambang, diharapkan dapat memberikan efek jera dan menjadi langkah awal dalam memperbaiki citra Polri yang lebih humanis dan berintegritas.
Lembaga Polri adalah merupakan salah satu lembaga yang dicintai oleh masyarakat. Untuk itu sudah sepatutnya lembaga ini tidak diisi oleh anggota yang memiliki arogansi kekuasaan dalam menghadapi masyarakat. Anggota polri yang dicintai oleh masyarakat adalah anggota yang humanis dan mengedepankan profesionalisme. (red)