Mengungkap Praktek E-Waroeng Abal-Abal Pada Penyaluran BPNT di Desa Cigondewah Hilir

MARGAASIH, RB.Online – Bantuan Sosial (Bansos) sepertinya merupakan salah satu bantuan yang membuat beberapa oknum pejabat gak kuat menahan “syahwat” untuk tidak korupsi. Hal ini pula yang membuat mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Belum tuntas dengan kasus Bansos yang menjerat mantan orang nomor satu di Kementerian Sosial ini, baru-baru ini KPK kembali menetapkan Bupati Bandung Barat, Aa Umbara Sutisna dan anak kandungnya, Andri Wibawa menjadi tersangka kasus korupsi dana Bansos.

Kedua kasus tersebut diatas menjadi bukti kuat betapa dana Bansos menjadi lahan korupsi bagi oknum pejabat bermental tikus. Mengingat penyaluran Bansos memiliki tingkat penyelewengan tinggi, membuat Presiden, Joko Widodo, gubernur, walikota serta bupati kerap mengajak masyarakat untuk melakukan pengawalan terhadap penyaluran berbagai bantuan dari pemerintah, khususnya pada saat pandemi Covid-19 seperti ini.

Sebagaimana kita ketahui, sejak Corona Virus Disease (COVID-19) telah masuk ke Indonesia, pemerintah melakukan berbagai langkah dan penanganan untuk menekan angka penyebaran virus tersebut.

Kebijakan lockdown hingga PSBB membuat pemerintah harus merogoh kocek hingga triliunan rupiah guna membantu ekonomi masyarakat dengan menyalurkan berbagai jenis bantuan.

Mulai Paket Sembako, Bantuan Sosial Tunai (BST), Listrik Gratis, Kartu Prakerja, Subsidi Gaji Karyawan, BLT Usaha Mikro Kecil, Bantuan Pulsa untuk Siswa dan BLT Dana Desa disalurkan untuk membantu masyarakat akibad dampak COVID-19.

Sayangnya, kendati beragam jenis bantuan telah digulirkan, masih ditemukan sejumlah masyarakat miskin yang sama sekali tidak tersentuh bantuan. Hal ini disebabkan oleh amburadulnya pendataan dan penyaluran bantuan yang dilakukan oleh pemerintah, baik ditingkat pusat, kota/kabupaten, kecamatan bahkan tingkat kelurahan dan desa.

Mengungkap Praktek E-Waroeng Abal-Abal Pada Penyaluran BPNT di Desa Cigondewah Hilir

Tak ayal kondisi ini menyebabkan fenomena baru di tengah masyarakat, “yang kaya tambah kaya, yan miskin tambah miskin”. Si kaya akan tambah kaya karena mendapat bantuan dari pemerintah, si miskin akan tambah melarat akibat tidak mendapat apa-apa sementara pemerintah melarang untuk beraktifitas.

Tak terkecuali dengan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang konon disebut-sebut jadi bancakan oleh kalangan oknum pengambil kebijakan. Lagi-lagi masyarakat miskin harus jadi penonton terhadap kerakusan beberapa oknum yang berada di lingkaran penyaluran BPNT.

Lemahnya sistem pengawasan terhadap penyaluran BPNT, membuat Keluarga Penerima Manfaat (KPM) harus mengurut dada terhadap perilaku beberapa agen e-waroeng yang telah menentukan jenis barang yang akan disalurkan kepada KPM.

Seperti halnya penyaluran BPNT di Desa Cigondewah Hilir, Kecamatan Margaasih, dimana Agen e-waroeng milik Ricky Rahman, ST diduga hanya merupakan usaha dadakan untuk mengais rejeki dari keberadaan Porgram BPNT.

Dalam Pedoman Umum BPNT disebutkan, e-warong adalah agen bank, pedagang dan/atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan Bank Penyalur dan ditentukan sebagai tempat pembelian Bahan Pangan oleh KPM, yaitu usaha mikro, kecil, dan koperasi, pasar tradisional, warung, toko kelontong, e-warong KUBE, Warung Desa, Rumah Pangan Kita (RPK), Agen Laku Pandai, Agen Layanan Keuangan Digital (LKD) yang menjual bahan pangan, atau usaha eceran lainnya.

Kendati tidak memiliki usaha warungan, sepertinya bukan kendala bagi Ricky untuk menjadi bagian instrumen penyaluran BPNT. Dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Kepala Urusan Perencanaan di Desa Cigondewah Hilir, diduga dirinya melakukan lobby terhadap Bank Penyalur agar dapat menjadi Agen e-waroeng.

Untuk berbelanja BPNT di Agen e-waroeng milik Ricky, tidak memiliki kebebasan untuk memilih barang sesuai dengan kebutuhan KPM. Karena saat penyaluran bantuan, sudah ditentukan jenis dan volume barang sesuai dengan jumlah dana yang tersedia pada KKS sebesar Rp 200.000,00.

“Butuh tidak butuh, memang cuman jenis ini yang disediakan oleh Agen, ketimbang “hangus” terpaksa harus diambil,” ujar salah seorang KPM kepada Reformasi sambil memperlihatkan jenis belanjaan yang terdiri dari Beras, daging ayam, ikan bandeng, telur, buah Pir dan tahu.

Dirinya merinci belanjaan yang diperolehnya dengan uang Rp 200.000 di KKS miliknya terdiri dari Beras 10 Kg, daging ayam 1 Kg, Ikan Bandeng 0,5 Kg, telur 0,5 Kg, buah Pir sekitar 0,5 Kg, dan tahu/tempe 10 biji. “Kalau dihitung-hitung sesuai dengan harga warung mah, paling juga senilai Rp 170.000,” rincinya.

Saat ditanya bukti transaksi belanja yang dilakukan, wanita paruh baya ini mengaku tidak menerima apa-apa selain sejumlah barang yang sudah dipersiapkan sesuai jumlah dana yang tersedia pada KKS miliknya.

“Selama penyaluran BPNT, kami tidak pernah menerima bukti apapun atas perbelanjaan yang dilakukan oleh penerima bantuan,” pungkasnya sembari menuntun seorang anak kecil.

Padahal sesuai dengan Pedoman Umum BPNT, e-warong harus menyiapkan bukti transaksi bantuan pangan berupa cetak resi dari mesin EDC. Bukti transaksi tersebut memuat informasi nominal transaksi dan sisa jumlah dana yang masih tersedia pada rekening wallet KPM. Selanjutnya bukti transaksi tersebut disimpan oleh e-warong dan salinannya diserahkan kepada KPM.

Saat dikonfirmasi kepada Agen e-warong, Ricky Rahman, mengaku bahwa agen e-waroeng yang melayani penyaluran BPNT di Desa Cigondewah Hilir adalah merupakan milik istrinya. Untuk melayani penyaluran BPNT terhadap 525 KPM di desanya, dia dibantu oleh 10 orang pekerja.

“Saya hanya membantu istri saja pak, karena ini (e-waroeng) adalah merupakan usaha istri,” jelasnya mengelak.

Saat disinggung supplier yang memasok seluruh jenis barang yang hendak disalurkan kepada KPM, Ricky menjelaskan bahwa beras dipasok oleh Supplier yang bernama Frans. “Kalau barang selain beras kita peroleh dari berbagai pedagang,” sembari tidak menjelaskan badan hukum supplier beras dimaksud.

Menanggapi pengawasan dari pihak desa dan kecamatan terkait maraknya e-waroeng “abal-abal”, Kepala Desa Cigondewah Hilir, H. Syaeful Huda, mengaku bahwa ditemukannya e-waroeng yang tidak sesuai dengan kriteria Pedoman Umum BPNT, disebabkan minimnya sosialisasi dan edukasi dari Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) serta Kasi Sosial Budaya yang berada di tingkat kecamatan.

Sedangkan pengawasan dari pihak desa sendiri, menurut Syaeful Huda tidak dapat dilakukan dengan maksimal mengingat dirinya tidak selalu berada di lokasi penyaluran BPNT.

Dalam menanggapi adanya aparat desa yang merangkap jadi pengusaha e-waroeng, dirinya mengaku tidak mengetahui dengan pasti boleh tidaknya perangkat desa menjadi Agen e-waroeng,” hal tersebut kan tidak diatur dalam pedoman umu,” pungkasnya.

Ricky Rahman, ST, Kepala Urusan Perencanaan Program di Desa Cigondewah Hilir

Salah seorang sumber menjelaskan bahwa Ricky Rahman, ST yang menjabat sebagai Kepala Urusan Perencanaan Program di Desa Cigondewah Hilir masih memiliki hubungan keluarga dengan Kepala Desa, H. Syaeful Huda.

“Jadi warga disini tidak aneh pak kalau Agen e-waroeng itu masih dipegang oleh keluarga kades, karena beberapa perangkat desa disini juga masih keluarga kades,” jelas sumber.

Ketika hendak dimintai tanggapan dari Bank Penyalur terkait adanya e-waroeng abal-abal, Vice Control BNI Cabang Majalaya, Rahmat, tidak dapat memberikan tanggapan.

“Silahkan menghubungi pimpinan saya di Kantor BNI Cabang Majalaya, namanya Deni,” demikian Rahmat mengarahkan Reformasi saat dihubungi via telepon genggamnya, Rabu (31/03) lalu.

Seakan setali dua uang, ketika Reformasi dihubungi di Kantor BNI Cabang Majalaya, Deni sedang tidak berada di tempat.

Dalam menanggapi tentang adanya aparat desa yang menjadi e-waroeng, Deni justru menyarankan agar Reformasi mengajukan konfirmasi secara tertulis. “Kalau terkait hal tersebut, silahkan disampaikan secara tertulis pak,” kata Deni saat dihubungi via ponselnya, Kamis (01/04) lalu. (herman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *